Oleh : Prof. Dr. H. Mohamad Surya
Ketua Umum PB PGRI
Dalam
kesempatan yang sama setelah menyampaikan orasi ilmiah dalam Dies
Natalis ke 45 Universitas PGRI Yogyakarta (UPY) Bapak Prof. Dr. H.
Mohamad Surya Ketua Umum PB PGRI juga memberikan kuliah umum kepada para
mahasisa Program pasca Sarjana dan PGSD di Aula Unit I Jl. PGRI I Kotak
Pos 123 Sonosewu Bantul Yogyakarta. Adapun isi materinya sebagai
berikut:
Saat ini dunia pendidikan nasional Indonesia berada dalam situasi
“kritis” baik dilihat dari sudut internal kepentingan pembangunan
bangsa, maupun secara eksternal dalam kaitan dengan kompetisi antar
bangsa. Fakta menunjukkan bahwa, kualitas pendidikan nasional masih
rendah dan jauh ketinggalan dibandingkan dengan negara-negara lain.
Berbagai kritikan tajam yang berasal dari berbagai sudut pandang terus
ditujukan kepada dunia pendidikan nasional dengan berbagai alasan dan
kepentingan.
Bahkan ada beberapa pihak yang menuding bahwa krisis nasional
sekarang ini bersumber dari pendidikan dan lebih jauh ditudingkan
sebagai kesalahan guru. Benarkah ada unsur “salah” pada guru? Mungkin
“ya” dan mungkin “tidak” tergantung dari sudut mana memandang dan
menilainya. Namun yang pasti ialah bahwa kondisi guru saat ini bersumber
dari pola-pola bangsa ini memperlakukan guru. Meskipun diakui guru
sebagai unsur penting dalam pembangunan bangsa, namun secara ironis guru
belum memperoleh penghargaan yang wajar sesuai dengan martabat serta
hak-hak azasinya. Hal itu tercermin dari belum adanya jaminan kepastian
dan perlindungan bagi para guru dalam pelaksanaan tugas dan perolehan
hak-haknya sebagai pribadi, tenaga kependidikan, dan warga negara.
Siapapun mulai dari Presiden, wakil rakyat, para penabat, dan semua
warga masyarakat sangat setuju bahwa kualitas pendidikan kita harus
dirtingkatkan untuk mengejar ketertinggalannya di dalam tantangan golal.
Namun bagaimana upaya itu haruis dilakukan secara sistemik agar dapat
terwujud dengan baik. Tulisan ini akan mengemukakan satu pandangan bahwa
upaya mencapai pendidikan berkualitas harus dimulai dengan guru yang
berkualitas. Upaya meningkatkan kualitas pendidikan tanpa
memperhitungkan guru secara nyata, hanya akan menghasilkan satu
fatamorgana atau sesuatu yang semu dan tipuan belaka.
Sehubungan dengan itu bahasan berikut akan menyampaikan hal-hal yang
berkaitan dengan makna kualitas pendidikan, posisi guru dalam
pendidikan, masalah dan kendala, sertra upaya membanguin pendidikan guru
yang ideal. Bahasannya baru merupakan pikiran awal yang masih harus
dikaji dan dikembangkan lebih lanjut berdasarkan kajian sumber-sumber
empiris dari berbagai penelitian dan pengalaman nyata baik dalam maupun
luar negeri. Dalam ketidak sempurnaan ini ibarat setitik air di tengah
samudra luas namun semoga memberi manfaat dan sumbangsih bagi kaum guru
dan dunia pendidikan pada umumnya.
KUALITAS PENDIDIKAN: PROSES DAN HASIL
Dalam konsep yang lebih luas, kualitas pendidikan mempunyai makna
sebagai suatu kadar proses dan hasil pendidikan secara keseluruhan.
Kualitas pendidikan yang menyangkut proses dan atau hasil ditetapkan
sesuai dengan pendekatan dan kriteria tertentu. Proses pendidikan
merupakan suatu keseluruhan aktivitas pelaksanaan pendidikan dalam
berbagai dimensi baik internal maupun eksternal, baik kebijakan maupun
oprasional, baik edukatif maupun manajerial, baik pada tingkatan makro
(nasional), regional, institusional, maupun instruksional dan
individual; baik pendidikan dalam jalur sekolah maupun luar sekolah,
dsb. Dalam bahasan ini proses pendidikan yang dimaksud adalah proses
pendidikan Proses pendidikan yang berkualitas ditentukan oleh berbagai
faktor yang saling terkait. Kualitas pendidikan bukan terletak pada
besar atau kecilnya sekolah, negeri atau swasta, kaya atau miskin,
permanen atau tidak, di kota atau di desa, gratis atau membayar,
fasilitas yang “wah dan keren”, guru sarjana atau bukan, berpakaian
seragam atau tidak. Faktor-faktor yang menentukan kualitas proses
pendidikan suatu sekolah adalah terletak pada unsur-unsur dinamis yang
ada di dalam sekolah itu dan lingkungannya sebagai suatu kesatuan
sistem. Salah satu unsurnya ialah guru sebagai pelaku terdepan dalam
pelaksanaan pendidikan di tingkat institusional dan instruksional.
Dalam konteks yang lebih luas, hasil pendidikan mencakup tiga jenjang
yaitu: produk, efek, dan dampak. Hasil pendidikan yang berupa “produk”,
adalah wujud hasil yang dicapai pada akhir satu proses pendidikan,
misalnya akhir satu proses instruksional, akhir catur wulan/smester,
akhir tahun ajaran, akhir jenjang pendidikan, dsb. Wujudnya dinyatakan
dalam satu satuan ukuran tertentu (seperti angka, grade, peringkat,
indeks prestasi, yudicium, UAN, dsb.) sebagai gambaran kualitas hasil
pendidikan dalam periode tertentu. Hasil pendidikan berupa “efek”,
adalah perubahan lebih lanjut terhadap keseluruhan kepribadian peserta
didik sebagai akibat perolehan produk dari proses pendidikan
(pembelajaran) dari satu periode tertentu. Perolehan produk pendidikan
yang dinyatakan dalam bentuk hasil belajar seperti angka dalam rapor,
dsb. seyogianya memberikan pengaruh (efek) terhadap perubahan
keseluruhan perilaku/kepribadian peserta didik seperti dalam pemahaman
diri, cara berfikir, sikap, nilai, dan kualitas kepribadian lainnya.
Selanjutnya hasil pendidikan yang berupa “dampak”, adalah berupa
pengaruh lebih lanjut hasil pendidikan berupa produk dan efek yang
diperoleh peserta didik terhadap kondisi dan lingkungannya baik di dalam
keluarga ataupun masyarakat secara keseluruhan.
Guru Di Garda Terdepan Pendidikan
Sesuai dengan judulnya, “guru” merupakan subyek yang menjadi fokus
bahasan ini, karena siapapun sependapat bahwa guru merupakan unsur utama
dalam keseluruhan proses pendidikan khususnya di tingkat insitusional
dan instruksional. Tanpa guru, pendidikan hanya akan menjadi slogan
muluk karena segala bentuk kebijakan dan program pada akhirnya akan
ditentukan oleh kinerja pihak yang berada di garis terdepan yaitu guru.
“No teacher no education, no education no economic and social
development” demikian prinsip dasar yang diterapkan dalam pembangunan
pendidikan di Vietnam berdasarkan amanat Bapak bangsanya yaitu Ho Chi
Minh. Guru menjadi titik sentral dan awal dari semua pembangunan
pendidikan. Di Indonesia guru masih belum mendapatkan posisi yang
seharusnya dalam kebijakan dan program-program pendidikan. Saatnya kini
membuat kebijakan dengan paradigma baru yaitu membangun pendidikan
dengan memulainya dari subyek “guru”. Tanpa itu semua dikhawatirkan mutu
pendidikan tidak sampai pada cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa
melalui pengembangan sumber daya manusia.
Dalam kenyataan, guru belum memperoleh haknya untuk dapat mengajar
secara profesional dan efektif, Hal itu tercermin dari kondisi saat ini
yang mencakup jumlah yang kurang sehingga harus bekerja melebihi lingkup
tugasnya, mutu yang belum sesuai dengan tuntutan, distribusi yang
kurang merata, kesejahteraan yang amat tidak menunjang, dan manajemen
yang tidak kondusif. Semua itu merupakan cerminan adanya pelanggaran
hak azasi guru. Hak azasi guru proteksi dari pemerintah dan masyarakat
melalui perundang-undangan yang mengatur pendidikan antara lain
Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, dan Undang-undang
nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen harus segera
diimplementasikan pada tatanan operasional dan manajerial mulai di
tingkat nasional, regional, institusional, sampai tingkat instruksional.
Peran serta guru dalam kaitan dengan mutu pendidikan,
sekurang-kurangnya dapat dilihat dari empat dimensi yaitu guru sebagai
pribadi, guru sebagai unsur keluarga, guru sebagai unsur pendidikan, dan
guru sebagai unsur masyarakat.
Guru sebagai pribadi
Kinerja peran guru dalam kaitan dengan mutu pendidikan harus dimulai
dengan dirinya sendiri. Sebagai pribadi, guru merupakan perwujudan diri
dengan seluruh keunikan karakteristik yang sesuai dengan posisinya
sebagai pemangku profesi keguruan. Kepribadian merupakan landasan utama
bagi perwujudan diri sebagai guru yang efektif baik dalam melaksanakan
tugas profesionalnya di lingkungan pendidikan dan di lingkungan
kehidupan lainnya. Hal ini mengandung makna bahwa seorang guru harus
mampu mewujudkan pribadi yang efektif untuk dapat melaksanakan fungsi
dan tanggung jawabnya sebagai guru. Untuk itu, ia harus mengenal dirinya
sendiri dan mampu mengembangkannya ke arah terwujudnya pribadi yang
sehat dan paripurna (fully functioning person).
Peran guru di keluarga
Dalam kaitan dengan keluarga, guru merupakan unsur keluarga sebagai
pengelola (suami atau isteri), sebagai anak, dan sebagai pendidik dalam
keluarga. Hal ini mengandung makna bahwa guru sebagai unsur keluarga
berperan untuk membangun keluarga yang kokoh sehingga menjadi fundasi
bagi kinerjanya dalam melaksanakan fungsi guru sebagai unsur pendidikan.
Untuk mewujudkan kehidupan keluarga yang kokoh perlu ditopang antara
lain oleh: landasan keagamaan yang kokoh, penyesuaian pernikahan yang
sehat, suasana hubungan inter dan antar keluarga yang harmonis,
kesejahteraan ekonomi yang memadai, dan pola-pola pendidikan keluarga
yang efektif.
Peran guru di sekolah
Dalam keseluruhan kegiatan pendidikan di tingkat operasional, guru
merupakan penentu keberhasilan pendidikan melalui kinerjanya pada
tingkat institusional, instruksional, dan eksperiensial.. Sejalan dengan
tugas utamanya sebagai pendidik di sekolah, guru melakukan tugas-tugas
kinerja pendidikan dalam bimbingan, pengajaran, dan latihan. Semua
kegiatan itu sangat terkait dengan upaya pengembangan para peserta didik
melalui keteladanan, penciptaan lingkungan pendidikan yang kondusif,
membimbing, mengajar, dan melatih peserta didik. Dengan perkembangan dan
tuntutan yang berkembang dewasa ini, peran-peran guru mengalami
perluasan yaitu sebagai: pelatih (coaches), konselor, manajer
pembelajaran, partisipan, pemimpin, pembelajar, dan pengarang. Sebagai
pelatih (coaches), guru memberikan peluang yang sebesar-besarnya bagi
peserta didik untuk mengembangkan cara-cara pembelajarannya sendiri
sebagai latihan untuk mencapai hasil pembelajaran optimal.. Sebagai
konselor, guru menciptakan satu situasi interaksi di mana peserta didik
melakukan perilaku pembelajaran dalam suasana psikologis yang kondusif
dengan memperhatikan kondisi setiap peserta didik dan membantunya ke
arah perkembangan optimal. Sebagai manajer pembelajaran, guru mengelola
keseluruhan kegiatan pembelajaran dengan mendinamiskan seluruh
sumber-sumber penunjang pembelajaran. Sebagai partisipan, guru tidak
hanya berperilaku mengajar akan tetapi juga berperilaku belajar melalui
interaksinya dengan peserta didik. Sebagai pemimpin, guru menjadi
seseorang yang menggerakkan peserta didik dan orang lain untuk
mewujudkan perilaku pembelajaran yang efektif.. Sebagai pembelajar, guru
secara terus menerus belajar dalam rangka menyegarkan kompetensinya
serta meningkatkan kualitas profesionalnya. Sebagai pengarang, guru
secara kreatif dan inovatif menghasilkan berbagai karya yang akan
digunakan untuk melaksanakan tugasnya.
Peran guru di masyarakat
Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara
keseluruhan, guru merupakan unsur strategis sebagai anggota, agen, dan
pendidik masyarakat. Sebagai anggota masyarakat guru berperan sebagai
teladan bagi bagi masyarakat di sekitarnya baik kehidupan pribadinya
maupun kehidupan keluarganya. Sebagai agen masyarakat, guru berperan
sebagai mediator (penengah) antara masyarakat dengan dunia pendidikan
khususnya di sekolah. Dalam kaitan ini, guru akan membawa dan
mengembangkan berbagai upaya pendidikan di sekolah ke dalam kehidupan di
masyarakat, dan juga membawa kehidupan di masyarakat ke sekolah.
Selanjutnya sebagai pendidik masyarakat, bersama unsur masyarakat
lainnya guru berperan mengembangkan berbagai upaya pendidikan yang dapat
menunjang pencapaian hasil pendidikan yang bermutu.
MASALAH DAN KENDALA
Hingga saat ini masih banyak masalah dan kendala yang berkaitan
dengan guru sebagai satu kenyataan yang harus diatasi dengan segera.
Berbagai upaya pembaharuan pendidikan telah banyak dilakukan antara lain
melalui perbaikan sarana, peraturan, kurikulum, dsb. tapi belum
mempriotitaskan guru sebagai pelaksana di tingkat instruksional terutama
dari aspek kesejahteraannya. Beberapa masalah dan kendala yang
berkaitan dengan kondisi guru antara lain sebagai berikut.
1. Kuantitas, kualitas, dan distribusi.
Dari aspek kuantitas, jumlah guru yang ada masih dirasakan belum
cukup untuk menghadapi pertambahan siswa serta tuntutan pembangunan
sekarang. Kekurangan guru di berbagai jenis dan jenjang khususnya di
sekolah dasar, merupakan masalah besar terutama di daerah pedesaan dan
daerah terpencil. Dari aspek kualitas, sebagian besar guru-guru dewasa
ini masih belum memiliki pendidikan minimal yang dituntut. Data di
lampiran 1 menunjukkan bahwa dari 2.783.321 orang guru yang terdiri atas
1.528.472 orang guru PNS dan sisanya (1.254.849 orang) non-PNS, baru
sekitar 40% yang sudah memiliki kualifikasi S-1/D-IV dan di atasnya.
Sisanya masih di bawah D-3 atau lebih rendah. Dari aspek penyebarannya,
masih terdapat ketidak seimbangan penyebaran guru antar sekolah dan
antar daerah.. Dari aspek kesesuaiannya, di SLTP dan SM, masih terdapat
ketidak sepadanan guru berdasarkan mata pelajaran yang harus diajarkan.
2. Kesejahteraan.
Dari segi keadilan kesejahteraan guru, masih ada beberapa kesenjangan
yang dirasakan sebagai perlakuan diskriminatif para guru. Di antaranya
adalah: (1) kesenjangan antara guru dengan PNS lainnya, serta dengan
para birokratnya, (2) kesenjangan antara guru dengan dosen, (3)
kesenjangan guru menurut jenjang dan jenis pendidikan, misalnya antara
guru SD dengan guru SLTP dan Sekolah Menengah, (4) kesenjangan antara
guru pegawai negeri yang digaji oleh negara, dengan guru swasta yang
digaji oleh pihak swasta, (5) kesenjangan antara guru pegawai tetap
dengan guru tidak tetap atau honorer, (6) kesenjangan antara guru yang
bertugas di kota-kota dengan guru-guru yang berada di pedesaan atau
daerah terpencil, (7) kesenjangan karena beban tugas, yaitu ada guru
yang beban mengajarnya ringan tetapi di lain pihak ada yang beban
tugasnya banyak (misalnya di sekolah yang kekurangan guru) akan tetapi
imbalannya sama saja atau lebih sedikit. Kesejahteraan mencakup aspek
imbal jasa, rasa aman, kondisi kerja, hubungan antar pribadi, dan
pengembangan karir.
3. Manajemen guru
Dari sudut pandang manajemen SDM guru, guru masih berada dalam
pengelolaan yang lebih bersifat birokratis-administratif yang kurang
berlandaskan paradigma pendidikan (antara lain manajemen pemerintahan,
kekuasaan, politik, dsb.). Dari aspek unsur dan prosesnya, masih
dirasakan terdapat kekurang-terpaduan antara sistem pendidikan,
rekrutmen, pengangkatan, penempatan, supervisi, dan pembinaan guru.
Masih dirasakan belum terdapat keseimbangan dan kesinambungan antara
kebutuhan dan pengadaan guru. Rerkrutmen dan pengangkatan guru masih
selalu diliputi berbagai masalah dan kendala terutama dilihat dari aspek
kebutuhan kuantitas, kualitas, dan distribusi. Pembinaan dan supervisi
dalam jabatan guru belum mendukung terwujudnya pengembangan pribadi dan
profesi guru secara proporsional. Mobilitas mutasi guru baik vertikal
maupun horisontal masih terbentur pada berbagai peraturan yang terlalu
birokratis dan “arogansi dan egoisme” sektoral. Pelaksanaan otonomi
daerah yang “kebablasan” cenderung membuat manajemen guru menjadi makin
semrawut.
4. Penghargaan terhadap guru
Seperti telah dikemukakan di atas, hingga saat ini guru belum
memperoleh penghargaan yang memadai. Selama ini pemerintah telah
berupaya memberikan penghargaan kepada guru dalam bentuk pemilihan guru
teladan, lomba kreatiivitas guru, guru berprestasi, dsb. meskipun belum
memberikan motivasi bagi para guru. Sebutan “pahlawan tanpa tanda jasa”
lebih banyak dipersepsi sebagai pelecehan ketimbang penghargaan.
Pemberian penghargaan terhadap guru harus bersifat adil, terbuka,
non-diskriminatif, dan demokratis dengan melibatkan semua unsur yang
terkait dengan pendidikan terutama para pengguna jasa guru itu sendiri,
sementara pemerintah lebih banyak berperan sebagai fasilitator.
5. Pendidikan guru
Sistem pendidikan guru baik pra-jabatan maupun dalam jabatan masih
belum memberikan jaminan dihasilkannya guru yang berkewenangan dan
bermutu disamping belum terkait dengan sistem lainnya. Pola pendidikan
guru hingga saat ini masih terlalu menekankan pada sisi akademik dan
kurang memperhatikan pengembangan kepribadian disamping kurangnya
keterkaitan dengan tuntutan perkembangan lingkungan. Pendidikan guru
yang ada sekarang ini masih bertopang pada paradigma guru sebagai
penyampai pengetahuan sehingga diasumsikan bahwa guru yang baik adalah
yang menguasai pengetahuan dan cakap menyampaikannya. Hal ini
mengabaikan azas guru sebagai fasilitator dalam pembelajaran dan sumber
keteladanan dalam pengembangan kepribadian peserta didik. Pada
hakekatnya pendidikan guru itu adalah pembentukan kepribadian disamping
penguasaan materi ajar. Disamping itu pola-pola pendidikan guru yang ada
dewasa ini masih terisolasi dengan sub-sistem manajemen lainnya seperti
rekrutmen, penempatan, mutasi, promosi, penggajian, dan pembinaan
profesi.
Sebagai akibat dari hal itu semua, guru-guru yang dihasilkan oleh LPTK
tidak terkait dengan kondisi kebutuhan lapangan baik kuantitas,
kualitas, maupun kesepadannya dengan kebutuhan nyata.
WARISAN LAMA KARAKTERISTIK LINGKUNGAN KERJA GURU
Sebagai unsur yang berada di garda terdepan pendidikan, begitu banyak
sebutan sanjungan yang diberikan kepada guru seperti “Guru yang digugu
dan ditiru”, “Guru pejabat mulia”, “pahlawan tanpa tanda jasa”, “guru
sebagai jabatan profesional”, “guru sebagai sumber teladan”, “guru
sebagai pengukir masa depan bangsa”, dsb. Tentunya ungkapan-ungkapan
tersebut merupakan upaya untuk memotivasi para guru dalam melaksanakan
tugasnya, meskipun dalam kenyataannya banyak yang mempersepsi
ungkapan-ungkapan tersebut justru merupakan sanjungan yang tidak sesuai
dengan realitas sehingga membuat guru tersandung. Guru dipandang
memiliki prestise terhormat., akan tetapi sebagai profesi yang rendah
dengan imbalan yang tidak memadai.
Dengan posisi yang sangat strategis di garda terdepan pendidikan,
seharusnya guru mendapat perhatian yang sungguh-sungguh dalam hal
pembinaan profesional dan dukungan kesejahteraan melalui manajemen
pendidikan yang kondusif. Menurut Carl D. Glickman (1990) guru masih
berada di lingkungan kerja yang disebut “The legacy of the One-Room
Schoolhouse” atau “warisan satu-kamar bangunan sekolah”. Dikatakan
bahwa guru melakukan tugas kerjanya berada dalam sebuah ruangan yang
dibatasi empat dinding di kawasan bangunan sekolah. Aktivitas guru dari
menit ke menit dari hari ke hari dan dari tahun ke tahun berada dalam
batas tembok empat dinding menata seluruh kelas, memeriksa kehadiran
murid, mengajar, menilai, dsb. Kondisi ini masih terus berlangsung
dengan karakteristik sebagai berikut:
1. Terisolasi
Penataan struktur ruang kelas tempat guru bertugas membuat guru
bekerja secara individual dan berada di lingkungan kerja yang
terisolasi. Selama guru melakukan aktivitas instruksional, pihak lain
tidak mengamatinya termasuk para supervisor (pengawas). Guru
beraktivitas tanpa memperoleh umpan balik dari kinerjanya sehingga sulit
bagi mereka untuk memperoleh informasi balikan. Guru lainpun tidak
dapat mengamati kinerja guru tersebut sehingga sulit untuk terjadi
proses berbagai pengalaman. Mungkin hal ini berbeda dengan mereka yang
bekerja dalam suasana kerja yang terbuka seperti di pabrik, di lapangan,
di rumah sakit, dsb. Mereka yang bekerja di lingkungan kerja seperti di
rumah sakit, para petugas baik profesional (seperti dokter) maupun
para-profesional (seperti asisten, perawat, dsb) dapat saling mengamati
kinerja masing-masing. Petugas senior dapat membimbing yang senior
terutama pemula, demikian juga tenaga paramedis. Situasi seperti ini
dapat memberikan pengaruh konstruktif bagi perkembangan profesi, namun
hal seperti itu tidak dijumpai dalam lingkungan kerja guru. Kepala
sekolah, pengawas, atau pejabat pendidikan jarang yang melakukan
pengawasan dan pembinaan yang bersifat mengembangkan. Mereka lebih
banyak membahas hal-hal yang bersifat administratif.
2. Dilema psikologis
Kondisi penataan lingkungan kerja seperti dikemukakan di atas,
membuat guru secara terus menerus tanpa putus senantiasa berhadapan
dengan tantangan psikologis. Setiap hari guru melaksanakan tugasnya
dengan perilaku mengajar seperti mengecek kehadiran siswa,
memperhatikan siswa satu persatu, menyampaikan materi, mengajukan
pertanyaan, menjawab pertanyaan siswa, menulis, membacakan, memeriksa
pekerjaan, melakukan teguran, memberikan pujian, dsb. Kalau guru SD
sebagai guru kelas hal itu dilakukan mulai dari pelajaran yang satu ke
pelajaran berikutnya sampai akhir waktu. Kalau guru mata pelajaran
seperti di SMP atau SMA rangkaian perilaku itu dilakukan dari satu kelas
ke kelas lainnya hingga berakhir jam pelajaran. Cukup banyak jumlah
siswa yang harus dihadapi setiap hari dengan berbagai ragam kepribadian
mulai dari yang menyenangkan sampai ke yang menjengkelkan, mulai dari
yang cerdas sampai yang lambat, dan begitu banyak macam pola tingkah
laku siswa yang berasal dari berbagai latar belakang. Semua itu harus
dihadapi dengan sebaik-baiknya. Sebagai manusia biasa sudah tentu guru
akan berhadapan dengan situasi psikologis yang bersifat dilematis.
Sebagai guru harus bertahan pada norma-norma etika psikologis, namun
sebagai manusia biasa iapun memiliki kualitas kondisi psikologis
tertentu. Kalau kurang memiliki daya tahan psikologis yang prima, maka
dapat berkembang menjadi konflik, frustrasi bahkan mendapat gangguan
psikis.
Dilema psikologis yang dihadapi guru tidak hanya berhadapan dengan
siswa, namun dengan pihak orang tua, pihak kepala sekolah, dan birokrasi
pendidikan. Orang tua memberikan tuntutan tertentu menurut kehendak dan
perasaannya. Pihak kepala sekolah dan birokrasi lainnya lebih banyak
menuntut hal-hal yang bersifat administratif. Belum lagi tantangan yang
bersifat sosial, ekonomi, kultural, dan bahkan politik cukup memberikan
tekanan psikologis. Guru dituntut berperilaku ideal normatif namun
berbagai kendala ekonomis membuat mereka berada dalam situasi konflik.
Kondisi keluarga seperti tuntutan kebutuhan hidup yang menyangkut
sandang, pangan, dan papan, kebutuhan pendidikan, kesehatan, sosial,
dsb. makin menambah panjangnya deretan daftar tantangan dilema
psikologis bagi guru.
3. Rutinitas
Situasi lingkungan kerja sebagaimana dikemukakan di atas, membawa
guru pada pola-pola rutin. Semua aktivitas guru seolah-oleh sudah
dipolakan sedemikian rupa sehingga aktivitas guru terpasung dengan
hal-hal yang rutin. Kurikulum dan silabus serta jadwal mengajar setiap
hari, jadwal mingguan, bulanan, bahkan tahunan, semuanya sudah diatur
secara administratif. Sedikit sekali guru berpeluang untuk dapat
mengatur dirinya sendiri di luar ketentuan yang rutin. Bahkan di masa
lalu hal-hal yang sebenarnya menjadi tugas otonomi guru sudah diatur
dari atas seperti buku pelajaran, materi, metode mengajar, soal tes,
persiapan mengajar, serta juklak dan juknis lainnya.
Kondisi rutinitas itu dapat menghambat perkembangan kreativitas dan
profesi guru, disamping memberikan dampak psikologis seperti kebosanan,
apatis, pasif, reaktif,. mekanis, dsb.
4. Kendala guru pemula
Situasi lingkungan kerja seperti telah disebutkan di atas akan banyak
menimbulkan kendala bagi para guru pemula. Untuk memulai melaksanakan
tugas dakam lingkungan yang baru guru pmula memerlukan orientasi unmtuk
mengenal situasi baru dalam mempersiapkan diri untuk memulai
melaksanakan tugas. Dalam kenyataan jarang sekali guru memperoleh
bantuan untuk memulai tugasnya. Guru-guru yang sudah ada terlebih dahulu
atau guru senior kurang banyak membantu. Dari pihak kedinasan dan
birokrasi jarang ditemukan adanya program orientasi awal masa tugas bagi
pemula. Program yang disebut pendidikan dan pelatihan prajabatan
lebih banyak berkenaan dengan berbagai hal yang bersifat administratif
kepegawaian.
Kondisi seperti itu agak berbeda dibandingkan dengan lingkungan kerja
profesi lain seperti di bidang hukum, kesehatan, pemerintaha, bisnis,
dsb. Dalam lingkungan tersebut para pemula telah disiapkan program yang
secara bertahap membantu untuk secara bertahap dapat melaksanakan tugas
dan tanggung jawabnya. Lingkungan kerja guru dengan kondisi seperti itu
menjadi kendala untuk memulai tugasnya. Para pemula harus berupaya
sendiri dalam melaksanakan tugas dan melakukan penyesuaian diri dalam
berbagai aspek. Dampak psikologis yang mungkin timbul adalah rasa
terasing yang kemudian berkembang menjada rasa kurang betah dan
menurunnya motivasi kerja. Pada gilirannya keadaan seperti itu
berpengaruh terhadap efektiivitas kerja guru secara keseluruhan.
5. Karir tak berjenjang
Banyak profesi bergengsi seperti di bidang hukum, kedokteran, sains,
rekayasa, dsb. menetapkan secara jelas transisi dari sejak mahasiswa
lulus ke jabatan profesional. Untuk dapat melaksanakan tugas
profesionalnya dilakukan secara berjenjang melalui seleksi yang cukup
ketat dengan kriteria yang jelas. Ketika memulai bertugas pada tahap
awal dimulai dengan magang kepada yang lebih seniror dan terus secara
berhjenjang sampai pada posisin tertinggi. Dalam jabatan guru hal itu
tidak terjadi secara jelas dan terprogram. Begitu lulus dari Lembaga
Pendidikan Tenaga Kependidikan langsung terjun ke dunianya laksana anak
itik yang langsung berenang. Dan seterusnya sejak mulai sampai akhir
masa jabatan tidak pernah terjadi seleksi karir yang berjenjang. Dengan
begitu guru pemula sama saja dengan guru yang sudah puluhan tahun
bekerja, yang membedakannya hanyalah gaji yang diterima dan pangkat yang
semakin tinggi.
Memang ada ketentuan penjenjangan jabatan guru mulai dari guru
pratama sampai ke guru utama dengan kriteria perolehan angka kredit.
Namun dalam pelaksanaannya lebih banyak berupa ketentuan administratif
ketimbang penjenjangan profesional. Di Perguruan Tinggi para dosen cukup
jelas ketentuan aturan penjenjangan dan pelaksanaannya. Misalnya
seorang asisten ahli tidak diberi wewenang untuk mengajar secara mandiri
dan membimbing skripsi.
6. Kurang dialog mengenai pengajaran.
Pada umumnya di sekolah para guru jarang melakukan dialog atau
diskusi berkenaan dengan pengajaran baik antar sesama guru maupun dengan
supervisornya seperti kepala sekolah atau pengawas. Kalaupun terjadi
pertemuan antara pejabat Departemen, Dinas, pengawas atau Kepala
Sekolah, pembicaraan lebih banyak bersifat top down dan sedikit
menyinggung dialog mengenai pengajaran. Hal-hal yang dibahas lebih
banyak bersifat informatif yang berkenaan dengan berbagai peraturan,
ketentuan administratif, atau perintah, dsb. Kalau terjadi dialog
sesama guru pada waktu istirahat atau waktu luang, lebih banyak obrolan
santai membicarakan masalah-masalah pribadi, kesejahteraan, keluarga,
lingkungan dsb.
Ada satu bentuk forum yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan dialog
instruksional yaitu apa yang disebut Musyawarah Guru Mata Pelajaran
(MGMP). Sayangnya forum ini lebih banyak berbentuk kepanjangan kedinasan
yang sekali lagi lebih banyak mengarah ke hal-hal administratif.
7. Kurang keterlibatan dalam pengambilan keputusan kurikulum sekolah dan pengajaran.
Jika guru kurang kesempatan berdialog dengan sesama guru, tidak
saling melihat satu dengan lain dalam proses pengajaran, dan guru cukup
berkinerja dalam kelas, maka tidak heran apabila guru kurang dilibatkan
dalam pengambilan keputusan berkenaan dengan kurikulum dan pengajaran.
Keadaan ini jelas sangat kurang menguntungkan guru sebagai unsur
pendidikan yang berada di garda terdepan pendidikan.
Keputusan pendidikan termasuk kurikulum dan p[engajaran lebih banyak
ditetapkan dari atas dalam bentuk petunjuk pelaksanaan dan petunjuk
teknis yang seolah-olah sebuah resep yang harus dilaksanakan. Kalau saja
inovasi mengenai penerapan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan)
yang akan melibatkan guru dalam pelaksanaannya, maka ini satu langkah
baik untuk memberikan peluang bagi guru untuk mewujudkan otonomi
pedagogisnya. Masalahnya, apakah guru sudah siap, dan apakah ada
pembinaan sistematis?
GURU YANG DIHARAPKAN: Profesional, Sejahtera, dan Terlindungi
Menghadapi berbagai tantangan dalam upaya meningkatkan kualitas
pendidikan nasional, diperlukan guru berkualitas yang mampu mewujudkan
kinerja profesional, modern, dalam nuansa pendidikan dengan dukungan
kesejahteraan yang memadai dan berada dalam lindungan kepastian hukum.
“Guru” adalah suatu sebutan bagi jabatan, posisi dan profesi bagi
seseorang yang mengabdikan dirinya dalam bidang pendidikan memalui
interaksi edukatif secara terpola, formal, dan sistematis. Saat ini
telah lahir Undang-undang nomor 14 tahun 2006 tentang Guru dan Dosen
sebagai satu landasan konstitusional yang sekaligus sebagai payung hukum
yang memberikan jaminan bagi para guru dan dosen secara profesional,
sejahtera, dan terlindungi. Undang-undang guru sangat diperlukan dengan
tujuan: (1) mengangkat harkat citra dan martabat guru, (2) meningkatkan
yanggung jawab profesi guru sebagai pengajar, pendidik, pelatih,
pembimbing, dan manajer pembelajaran, (3) memberdayakan dan
mendayagunakan profesi guru secara optimal, (4) memberikan jaminan
kesejahteraan dan perlindungan terhadap profesi guru, (5) meningkatkan
mutu pelayanan dan hasil pendidikan, (6) mendorong peranserta masyarakat
dan kepedulian terhadap guru.
Dalam UU Guru dan Dosen (pasal 1 ayat 1) dinyatakan bahwa: ”Guru
adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta
didik pada pendidikan anak usia dini, jalur pendidikan formal,
pendidikan dasar dan pendidikan menengah”. Guru profesional akan
tercermin dalam penampilan pelaksanaan pengabdian tugas-tugas yang
ditandai dengan keahlian baik dalam materi maupun metode, rasa tanggung
jawab, pribadi, sosial, intelektual, moral dan spiritual, dan
kesejawatan, yaitu rasa kebersamaan di antara sesama guru. pribadi.
Sementara itu, perwujudan unjuk kerja profesional guru ditunjang dengan
jiwa profesionalisme yaitu sikap mental yang senantiasa mendorong untuk
mewujudkan diri sebagai guru profesional. Kualitas profesionalisme
ditunjukkan oleh lima untuk kerja sebagai berikut: (1) Keinginan untuk
selalu menampilkan perilaku yang mendekati standar ideal. (2)
Meningkatkan dan memelihara citra profesi. (3) Keinginan untuk
senantiasa mengejar kesempatan pengembangan profesional yang dapat
meningkatkan dan memperbaiki kualitas pengetahuan dan ketrampilannya.
(4) Mengejar kualitas dan cita-cita dalam profesi. (5) Memiliki
kebanggaan terhadap profesinya.
Dalam UU Guru dan Dosen (pasal 7 ayat 1) prinsip profesional guru
mencakup karakteristik sebagai berikut: (a) memiliki bakat, minat,
panggilan dan idealisme, (b) memiliki kualifikasi pendidikan dan latar
belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas, (c) memiliki kompetrensi
yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas, (d) memiliki ikatan
kesejawatan dan kode etik profesi, (e) bertanggung jawab atas
pelaksanaan tugas keprofesionalan, (f) memperoleh penghasilan yang
ditentukan sesuai dengan prestasi kerja, (g) memiliki kesempatan untuk
mengembangkan profesi secara berkelanjutan, (h) memiliki jaminan
perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, dan (i)
memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal
yang berkaitan dengan keprofesian. Selanjutnya pasal 14 menyatakan bahwa
guru mempunyai hak professional sebagai berikut: (a) memperoleh
penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan
social; (b) mendapatkan poromosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan
prestasi kerja, (c) memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas
dan hak atas kekayaan intelektual, (d) memperoleh kesempatan untuk
meningkatkan kompetensi, (e) memperoleh dan memanfaatkan sarana dan
prasaranban pembelajaran untuk menunjang kelancaran tugas
keprofeionalam, (f) memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan
ikut menentukan kelulusaan, penghargaan dan/atau sanksi kepada peserta
didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan
perundang-undangan, (g) memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan
dalam melaksanakan tugas, (h) memiliki kebebasan untuk berserikat dalam
organisasi profesi, (i) memiliki kesempatan untuk berperan dalam
penentuan kebijakan pendidikan, (j) memperoleh kesempatan untuk
mengembangkan dan meningkatkan kualifikasi akademik dan kompetensi,
dan/atau, (k) memperoleh pelatihan dan pengembangan profesi dalam
bidangnya.
Beberapa substansi UU Guru dan Dosen yang bernilai “pembaharuan” untuk
mendukung profesionalitas dan kesejahteraan guru antara lain yang
berkenaan dengan:
- Kualifikasi dan kompetensi guru: yang mensyaratkan kualifikasi
akademik guru minimal lulusan S-1 atau Diploma IV, dengan kompetensi
sebagai agen pembelajaran yang meliputi kompetensi pedagogik,
kepribadian, profesional, dan sosial.
- Hak guru: yang berupa penghasilan di atas kebutuhann hidup minimum
berupa gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi,
tunjangan fungsionmal, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan yang
terkait dengan tugasnya sebagai guru. (pasal 15 ayat 1)
- Kewajiban guru; untuk mengisi keadaan darurat adanya wajib kerja sebagai guru bagi PNS yang memenuhi persyaratan.
- Pengembangan profesi guru; melalui pendidikan guru yang lebih
berorientasi pada pengembangan kepribadian dan profesi dalam satu
lembaga pendidikan guru yang terpadu.
- Perlindungan; guru mendapat perlindungan hukum dalam berbagai
tindakan yang merugikan profesi, kesejahteraan, dan keselamatan kerja.
- Organisasi profesi; sebagai wadah independen untuk peningkatan
kompetensi karir, wawasan kependidikan, perlindungan profesi,
kesejahtreraan dan atau pengabdian, menetapkan kode etik guru,
memperjuangkan aspirasi dan hak-hak guru.
PELUANG DAN TANTANGAN
Sebagai satu bentuk reformasi dan inovasi, kelahirannya akan
memberikan peluang sekaligus tantangan yang akan dihadapi oleh
subyek-subyek terkait.
Pertama; bagi para guru
Sebagai peluang, guru akan memperoleh jaminan dalam mewujudkan
otonomi pedagogis yang merupakan hak azasinya sebagai unsur utama
pendidikan sehingga dapat berkinerja secara profesional dan lebih
optimal dengan dukungan kualitas kesejahteraan dan perlindungan hukum
yang memadai. Disamping itu guru berpeluang untuk memperoleh jaminan
sebagai warga negara dengan segala hak dan kewajibannya dalam suasana
lingkungan kerja yang kondusif dalam pengembangan karir baik profesi
maupun pribadi. Semua peluang tersebut apabila dapat terwujud akan
membuat para guru berkinerja secara profesional dengan dukungan
kesejahteraan yang memadai dan dalam lingkungan kerja yang kondusif,
serta jaminan kepastian karir yang lebih prospektif. Namun semua peluang
itu tidak serta merta akan terwujud karena guru ditantang untuk mampu
berkinerja sesuai dengan tuntutan undang-undang. Guru harus memenuhi
standar profesi baik dalam bentuk kualifikasi maupun kompetensi
sebagaimana telah ditetapkan dalam undang-undang dan harus senantiasa
meningkatkan mutu profesionalnya melalui berbagai cara dan kesempatan.
Guru ditantang untuk dapat melaksanakan semua tuntutan undang-undang
berkenaan dengan kewajiban profesionalnya sesuai dengan kode etik
profesi. Hak untuk memperoleh kesejahteraan dan jaminan hanya mungkin
terwujud apabila yang bersangkutan mampu memenuhi kewajibannya sebagai
tantangan dari tuntutan undang-undang. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa peluang yang mungkin akan dicapai oleh para guru, harus diikuti
dengan kemampuan menghadapi tantangan yang yang timbul dari implementasi
undang-undang.
Kedua; bagi pemerintah.
Dengan berlakunya undang-undang guru, pemerintah mendapat tantangan
untuk secara konsekuen mengimplementasikan berbagai amanat undang-undang
dalam berbagai aspek dan dimensi pendidikan. Sesuai dengan amanat
undang-undang, hal yang harus dilaksanakan antara lain: (1) Menata
berbagai ketentuan hukum yang berkaitan dengan implementasi
undang-undang, (2) Menyediakan dana dan sarana untuk menunjang
implementasi undang-undang. (2) Mewujudkan satu sistem manajemen guru
dan dosen dalam dalam satu sistem pengelolaan yang profesional dan
proporsional. (3) Pembenahan Sistem Pendidikan dan pelatihan yang lebih
fungsional untuk dan lebih berorientasi pada pembentukan dan
pemberdayaan kepribadian dan profesi, (4) Pengembangan satu sistem
remunerasi (gaji dan tunjangan lainnya) bagi guru dan secara adil,
bernilai ekonomis, serta memiliki daya tarik sedemikian rupa sehingga
merangsang para guru dan melakukan tugasnya dengan penuh dedikasi dan
memberikan kepuasan lahir batin.
Ketiga; bagi organisasi profesi.
Organisasi profesi merupakan peluang untuk sebagai wadah perjuangan
dalam mewujudkan semua amanat yang tersirat dan tersurat dalam
undang-undang. PGRI yang hingga saat ini telah menjadi salah satu
organisasi guru dengan usia paling lama dan memiliki potensi yang cukup
mantap dalam struktur, kultur, substansi dan SDM-nya, harus mampu
menjadi organisasi profesi sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang.
Sebagai organisasi profesi, PGRI mempunyai fungsi sebagai wadah
kebersamaan rasa kesejawatan para anggota dalam: (1) mewujudkan
keberadaannya di lingkungan masyarakat, (2) memperjuangkan segala
aspirasi dan kepentingannya suatu profesi, (3) menetapkan standar
perilaku profesional, (4) melindungi seluruh anggota, (5) meningkatkan
kualitas kesejahteraan, (6) mengembangkan kualitas pribadi dan profesi.
Keempat; bagi penyelenggara pendidikan
Sebagaimana kita maklumi, Undang-undang Sisdiknas dan Undang-undang
Guru dan Dosen memberikan jaminan kesetaraan antara pendidikan yang
diselenggarakan oleh pemerintah (negeri) dan yang dioselenggarakan oleh
masyarakat (swasta). Bagi penyelenggara pendidikan swasta kelahiran
Undang-undang Guru dan Dosen merupakan peluang bagi peningkatan mutu
pendidikan melalui peningkatan mutu dan kesejahteraan para pengajar
(guru dan dosen). Namun hal itu merupakan tantangan tersendiri yang
mungkin cukup berat dan rumit sehingga bukan hal yang mustahil dapat
menimbulkan komplikasi. Kondisi swasta yang berbeda dengan negeri
terutama dalam dana dan sarana menuntut pihak swasta harus bekerja keras
untuk mengejar ketertinggalan dengan negeri. Sementara itu, kondisi
swasta memiliki rentangan keragaman yang cukup besar antara satu dengan
lainnya sehingga dalam mengimplementasikan Undang-undang Guru dan Dosen
memerlukan adaptasi yang cukup rumit dan memerlukan tahapan waktu dalam
kurun yang panjang. Untuk itu dibutuhkan kesiapan pihak swasta dan
dukungan pemerintah dalam rangka mengembangkan kemitraan penyelenggaraan
pendidikan.
Kelima; pihak terkait lainnya
Berbagai pihak terkait baik institusi maupun perorangan yang berada
di lingkungan penyelenggara pendidikan, birokrasi, lembaga legislatif,
organisasi, dan masyarakat pada umumnya, harus ikut berperan serta dalam
implementasi undang-undang guru dan dosen. Dalam hubungan ini semua
pihak terkait mendapat tantangan untuk dapat memberikan perlakuan
secara tepat sebagai dukungan bagi guru dan dosen dalam mewujudkan
dirinya sesuai dengan amanat undang-undang guru. Langkah mendasar yang
harus dilakukan oleh pihak birokrasi adalah mereposisi guru dan dosen
dalam pendidikan nasional dalam berbagai tatanan dan dimensi pendidikan
sesuai dengan tuntutan undang-undang. Selanjutnya guru dan dosen harus
diperlakukan sebagai subyek yang berada dalam tatanan manajerial yang
berbasis pendidikan sebagai mitra dalam pengelolaan yang luwes. Dengan
demikian. Guru dan dosen akan mewujud sebagai pribadi mandiri, matang,
penuh percaya diri dan berwibawa untuk tampil sebagai insan professional
yang terjamin dan prospektif. Semua itu pada gilirannya akan menunjang
suksesnya kinerja pendidikan nasional sebagai infrastruktur pengembangan
sumber daya manusia.
PENDIDIKAN GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN
Setiap aspek dunia pendidikan termasuk masalah kualitas guru saat ini
menghadapi tantangan baik global, nasional, maupun lokal. Pada tatanan
global seluruh umat manusia di dunia dihadapkan pada tantangan yang
bersumber dari perkembangan global sebagai akibat pesatnya perkembangan
ilmu perngetahuan dan teknologi. Robert B Tucker (2001) mengidentifikasi
adanya sepuluh tantangan di abad 21 yaitu: (1) kecepatan (speed), (2)
kenyamanan (convinience), (3) gelombang generasi (age wave), (4) pilihan
(choice), (5) ragam gaya hidup (life style), (6) kompetisi harga
(discounting), (7) pertambahan nilai (value added), (8) pelayananan
pelanggan (costumer service), (9) teknologi sebagai andalan (techno
age), (10) jaminan mutu (quality control. Menurut Robert B Tucker
kesepuluh tantangan itu menuntut inovasi dikembangkannya paradigma baru
dalam pendidikan seperti: accelerated learning, learning revolution,
megabrain, quantum learning, value clarification, learning than
teaching, transformation of knowledge, quantum quotation (IQ, EQ, SQ,
dll.), process approach, Forfolio evaluation, school/community based
management, school based quality improvement, life skills, competency
based corriculum.
Pada tatanan nasional, dunia pendidikan ditantang dengan berbagai
upaya pembaharuan dan pembangunan nasional yang lebih berorientasi pada
pengembangan sumber daya manusia. Lahirnya Undang-undang nomor 20 tahun
2003 tentang sistem Pendidikan Nasional, Undang-undang nomor 14 tahun
2005 tentang Guru dan Dosen, dan berrbagai produk ketentuan hukum
lainnya merupakan satu tantangan yang harus dihadapi oleh LPTK yang
mempunyai tanggung jawab dalam menghasilkan guru yang berkualitas. Pada
tatanan lokal dengan penerapan otonomi daerah, setiap daerah mempunyai
peluang untuk menata pengembangan tenaga guru yang lebih berkualitas dan
sesuai dengantuntutan kebutuhan daerah.
Berkaitan dengan masalah dan kendala guru sebagaimana dikemukakan di
atas, cukup banyak kritikan tajam yang ditujukan kepada LPTK khususnya
yang berkenaan dengan ketiak mampuan LPTK menghasilkan guruyang
berkualitas. Menurut Linda Darling Hammond dan Joan Baratz Snouwden
(2007) dalam tulisannya yang berjuudul: ”Good Teacher in Every
Classroom: Preparing the High Qualified Teachers Our Children Deserve”.,
ada beberapa alasan mengapa hal itu terjadi, yaitu pertama; pemerintah
dan masyarakat belum menunjukkan keseriusannya dalam menangani hak-hak
anak terutama dari kelompok miskin, kedua, penyempitan makna
konvensional yang menyatakan bahwa pengajaran semata-mata sebagai proses
penyampaian materi sebagaimana digariskan dalam kurikulum; ketiga,
banyak pihak yang tidak memahami hakekat mengajar yang sebenarnya,
keempat, hampir semua meyakini bahwa yang penting adalah pengajaran dan
bukan pembelajaran dari peserta didik, kelima masih longgarnya tuntutan
persyaratan untuk menjadi guru yang berkualitas, keenam para peneliti
dan pendidik guru barui sampai pada kesepakatan mengenai pengetahuan
dasar yang diperlukan oleh guru untuk memasuki kelas. Pendidikan guru di
masa lalu dan hingga sekarang sering dikritik terlalu sempit yang
dibatasi dengan mempersiapkan pengetahuan yang akan diajarkan di kelas.
Sementara kurang memperhatikan hal-hal yang terkait dengan pemahaman
mengernai peserta didik, pengembangan profesi, pembentukan kepribadian,
dan landasan pedagogis. Sebagai akibatnya ialah guru hanya mampu tampil
sebagai penyampai pengetahuan dan tidak tampil sebagai guru profesional
sebagaimana dituntut oleh Undang-undang Guru dan Dosen.
Sehubungan dengan kritikan dan tantangan tersebut maka LPTK harus
mau dan mampu melakukan reformasi pola-pola pendidikan guru. Pola-pola
lama harus dikembangkan sehingga mampu menghasilkan guru yang
berkualitas sebagaimana yang diharapkan. Untuk itu perlu dilakukan
berbagai penataan sistem secara utuh dengan menempatkan proses
pengajaran dan pembelajaran sebagai inti dari siostem pendidikan guru.
Wayne K. Hoy dan Cecil G. Miskel menyebutnya proses interaksi antara
pengajaran dan pembelajaran sebagai ”technical core” dalam pendidikan
guru. Mereka menyarankan agar pendidikan guru baik pra-jabatan maupun
dalam jabatan dibangun dalam satu sistem yang utuh dengan memperhatikan
aspek input, proses, dan output dan terjadi keterpaduan berbagai unsur
sub-sistem secara utuh.