Kamis, 16 Februari 2012

Proses sertifikasi guru berubah






 JAKARTA: Sertifikasi dan Penilaian Kinerja (PK) guru kini mengalami perubahan proses untuk memudahkan mereka meningkatkan kinerja dan profesionalitas.

Syawal Gultom, Kepala Badan Pengembangan SDM Pendidikan dan Penjamin Mutu Pendidikan (PSDMP dan PMP) Kementerian Pendidikan, mengatakan ada empat perbaikan pada pelaksanaan sertifikasi guru 2012.

Keempat hal itu adalah penetapan peserta dilakukan secara online system, uji kompetensi, perangkingan mulai dari usia, masa kerja, golongan dan penjadwalan yang lebih awal dari Februari.
Menurut dia, salah satu bagian penting dalam pelaksanaan sertifikasi adalah proses rekrutmen dan penetapan calon peserta. Dengan sistem pendaftaran secara online maka informasinya terbuka dan bersifat adil.

Dengan mengandalkan sistem yang bekerja, maka terjamin objektivitas setiap guru yang berhak disertifikasi. "Sebab penetapannya bukan lagi oleh manusia yang bisa saja dipengaruhi like or dislike terhadap seseorang," kata Syawal.

Pengumuman sertifikasi, ujarnya, kini sudah bisa dibuka di www.sergur.pusbangprodik.org. Guru bisa melihat ada di posisi mana dan data guru masih bisa di-update di Kabupaten/kota oleh yang bersangkutan hingga 1 Desember 2011.

"Syarat utama sertifikasi adalah guru memiliki Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK)," katanya.

Calon peserta sertifikasi harus memenuhi syarat  a.l masih aktif mengajar di sekolah di bawah Binaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan baik negeri maupun swasta.

Menurut dia, untuk guru bukan PNS pada sekolah swasta harus memiliki SK pengangkatan sebagai guru tetap dari yayasan dan guru bukan PNS di sekolah negeri harus memiliki SK pengangkatan sebagai guru dari Bupati/Walikota. (tw)

Rabu, 15 Februari 2012

Petunjuk untuk mendapat NUPTK

NUPTK sangat penting bagi PTK (pendidik dan tenaga kependidikan) karena NUPTK menunjukkan terdatanya seorang PTK secara nasional. Manfaatnya, dapat mengikuti/menerima program-program pemberdayaan, pemberian kesejahteraan dan peningkatan kompetensi, kualifikasi, serta peningkatan profesionalisme (sertifikasi) yang diberikan oleh pemerintah pusat melalui Ditjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Depdiknas Jakarta.

Persyaratan Mendapatkan NUPTK
Persyaratan standar minimal tentang PTK yang bisa dijaring baik pendidikan Formal maupun Non Formal untuk mendapatkan NUPTK

Persyaratan umum:
1. WNI dan WNA yang sudah naturisasi
2. Menjadi Pendidik (melakukan tatap muka di depan kelas) dan Tenaga Kependidikan (menunjang proses pendidikan) baik pada     pendidikan formal maupun non formal, PNS maupun non PNS dan baik dibawah binaan Kemendiknas maupun Kemenag.

Persyaratan Khusus :
a. PTK Pendidikan Formal
1) Untuk PNS/CPNS yang dibuktikan dengan bukti SK Penetapan sebagai Guru/Pendidik untuk segera dilakukan proses pendataan berdasarkan bukti fisik pendukung.
2) Untuk Non PNS pendataan usulan baru dilakukan  maksimal 2 (dua) kali dalam setahun (pada bulan Juni dan Desember menjelang awal semester) dengan syarat : Minimal telah memiliki masa kerja 2 tahun yang dibuktikan dengan SK Penugasan dari lembaga yang berwenang.

b. PTK Non Formal
Segera melakukan pendataan PTK-PNF berdasarkan bukti fisik pendukung. Pengusulan NUPTK bagi PTK-PNF dengan syarat :
1) Sampai akhir tahun 2010 semua PTK PNF segera dimasukkan ke dalam database SIM NUPTK-PNF untuk diproses generate NUPTK.
2) Mulai tahun 2011, PTK-PNF yang diusulkan masuk database SIMNUPTK PNF minimal memiliki masa kerja 2 tahun (TMT minimal bulan Juli tahun 2009).
3) Lembaga/instansinya terdaftar di dinas pendidikan setempat
Sumber:  http://pmptk.kemdiknas.go.id/

Bagi yang belum pernah mengisi instrumen PTK atau data PTK belum lengkap:
1. Ambil format instrumen individu data PTK di sekolah atau di Dinas Pendidikan Kab./Kota bagian Ketenagaan Sekretariat Pendaftaran. Atau, dapat diunduh di sini (lihat di bagian akhiur tulisan).
2. Isi dengan benar dan selengkap-lengkapnya sesuai petunjuk! NUPTK bisa keluar tergantung dari kelengkapan dan keabsahan instrumen.
3. Kumpulkan ke TU sekolah/Kepala Sekolah atau langsung kirim ke Dinas Pendidikan Kab./Kota untuk dientri.
4. Dikirim ke LPMP (oleh Dinas Pendidikan Kab/Kota)  dan akan dikirim ke Ditjen PMPTK Jakarta untuk dikeluarkan NUPTK-nya.


Berikut formulir isian PTK (usul NUPTK) untuk diunduh
1. Formulir Pendataan PTK
2. Petunjuk Pengisian Formulir Pendataan PTK

Jumat, 10 Februari 2012

kisi-kisi soal ujian nasional tahun pel 2011/2012

Kisi-kisi soal Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2011/2012

Agar lebih siap menghadapi , ada baiknya Anda membaca dulu kisi-kisi soal yang dibuat oleh Badan Standar Nasional Pendidikan sebagai acuan dalam pelaksanaan  pada Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah Tahun Pelajaran 2011/2012.
Kisi-kisi soal Ujian Nasional Tahun Pelajaran Tahun 2011/2012 disusun berdasarkan Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) yang tercantum pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
Kisi-kisi soal ini tersedia untuk SD, SMP dan SMA. Semoga dengan kisi-kisi soal ini, para siswa dan guru lebih siap melaksanakan Ujian Nasional. :)
Unduh Kisi-kisi Soal Ujian Nasional DISINI atau DISINI

kisi-kisi soal

untuk para calon peserta plpg 2012 silahkan klik disini untuk melihat kisi-kisi soal : www.sergur.pusbangprodik.org

Rabu, 08 Februari 2012

GURU YANG BERKUALITAS

Oleh : Prof. Dr. H. Mohamad Surya
Ketua Umum PB PGRI
Ketua Umum PGRIDalam kesempatan yang sama setelah menyampaikan orasi ilmiah dalam Dies Natalis ke 45 Universitas PGRI Yogyakarta (UPY) Bapak Prof. Dr. H. Mohamad Surya Ketua Umum PB PGRI juga memberikan kuliah umum kepada para mahasisa Program pasca Sarjana dan PGSD di Aula Unit I Jl. PGRI I Kotak Pos 123 Sonosewu Bantul Yogyakarta. Adapun isi materinya sebagai berikut:
Saat ini dunia pendidikan nasional Indonesia berada dalam situasi “kritis” baik dilihat dari sudut internal kepentingan pembangunan bangsa, maupun secara eksternal dalam kaitan dengan kompetisi antar bangsa. Fakta menunjukkan bahwa, kualitas pendidikan nasional masih rendah dan jauh ketinggalan dibandingkan dengan negara-negara lain. Berbagai kritikan tajam yang berasal dari berbagai sudut pandang terus ditujukan kepada dunia pendidikan nasional dengan berbagai alasan dan kepentingan.
Bahkan ada beberapa pihak yang menuding bahwa krisis nasional sekarang ini bersumber dari pendidikan dan lebih jauh ditudingkan sebagai kesalahan guru. Benarkah ada unsur “salah” pada guru? Mungkin “ya” dan mungkin “tidak” tergantung dari sudut mana memandang dan menilainya. Namun yang pasti ialah bahwa kondisi guru saat ini bersumber dari pola-pola bangsa ini memperlakukan guru. Meskipun diakui guru sebagai unsur penting dalam pembangunan bangsa, namun secara ironis guru belum memperoleh penghargaan yang wajar sesuai dengan martabat serta hak-hak azasinya. Hal itu tercermin dari belum adanya jaminan kepastian dan perlindungan bagi para guru dalam pelaksanaan tugas dan perolehan hak-haknya sebagai pribadi, tenaga kependidikan, dan warga negara.
Siapapun mulai dari Presiden, wakil rakyat, para penabat, dan semua warga masyarakat sangat setuju bahwa kualitas pendidikan kita harus dirtingkatkan untuk mengejar ketertinggalannya di dalam tantangan golal. Namun bagaimana upaya itu haruis dilakukan secara sistemik agar dapat terwujud dengan baik. Tulisan ini akan mengemukakan satu pandangan bahwa upaya mencapai pendidikan berkualitas harus dimulai dengan guru yang berkualitas. Upaya meningkatkan kualitas pendidikan tanpa memperhitungkan guru secara nyata, hanya akan menghasilkan satu fatamorgana atau sesuatu yang semu dan tipuan belaka.
Sehubungan dengan itu bahasan berikut akan menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan makna kualitas pendidikan, posisi guru dalam pendidikan, masalah dan kendala, sertra upaya membanguin pendidikan guru yang ideal. Bahasannya baru merupakan pikiran awal yang masih harus dikaji dan dikembangkan lebih lanjut berdasarkan kajian sumber-sumber empiris dari berbagai penelitian dan pengalaman nyata baik dalam maupun luar negeri. Dalam ketidak sempurnaan ini ibarat setitik air di tengah samudra luas namun semoga memberi manfaat dan sumbangsih bagi kaum guru dan dunia pendidikan pada umumnya.

KUALITAS PENDIDIKAN: PROSES DAN HASIL

Dalam konsep yang lebih luas, kualitas pendidikan mempunyai makna sebagai suatu kadar proses dan hasil pendidikan secara keseluruhan. Kualitas pendidikan yang menyangkut proses dan atau hasil ditetapkan sesuai dengan pendekatan dan kriteria tertentu. Proses pendidikan merupakan suatu keseluruhan aktivitas pelaksanaan pendidikan dalam berbagai dimensi baik internal maupun eksternal, baik kebijakan maupun oprasional, baik edukatif maupun manajerial, baik pada tingkatan makro (nasional), regional, institusional, maupun instruksional dan individual; baik pendidikan dalam jalur sekolah maupun luar sekolah, dsb. Dalam bahasan ini proses pendidikan yang dimaksud adalah proses pendidikan Proses pendidikan yang berkualitas ditentukan oleh berbagai faktor yang saling terkait. Kualitas pendidikan bukan terletak pada besar atau kecilnya sekolah, negeri atau swasta, kaya atau miskin, permanen atau tidak, di kota atau di desa, gratis atau membayar, fasilitas yang “wah dan keren”, guru sarjana atau bukan, berpakaian seragam atau tidak. Faktor-faktor yang menentukan kualitas proses pendidikan suatu sekolah adalah terletak pada unsur-unsur dinamis yang ada di dalam sekolah itu dan lingkungannya sebagai suatu kesatuan sistem. Salah satu unsurnya ialah guru sebagai pelaku terdepan dalam pelaksanaan pendidikan di tingkat institusional dan instruksional.
Dalam konteks yang lebih luas, hasil pendidikan mencakup tiga jenjang yaitu: produk, efek, dan dampak. Hasil pendidikan yang berupa “produk”, adalah wujud hasil yang dicapai pada akhir satu proses pendidikan, misalnya akhir satu proses instruksional, akhir catur wulan/smester, akhir tahun ajaran, akhir jenjang pendidikan, dsb. Wujudnya dinyatakan dalam satu satuan ukuran tertentu (seperti angka, grade, peringkat, indeks prestasi, yudicium, UAN, dsb.) sebagai gambaran kualitas hasil pendidikan dalam periode tertentu. Hasil pendidikan berupa “efek”, adalah perubahan lebih lanjut terhadap keseluruhan kepribadian peserta didik sebagai akibat perolehan produk dari proses pendidikan (pembelajaran) dari satu periode tertentu. Perolehan produk pendidikan yang dinyatakan dalam bentuk hasil belajar seperti angka dalam rapor, dsb. seyogianya memberikan pengaruh (efek) terhadap perubahan keseluruhan perilaku/kepribadian peserta didik seperti dalam pemahaman diri, cara berfikir, sikap, nilai, dan kualitas kepribadian lainnya. Selanjutnya hasil pendidikan yang berupa “dampak”, adalah berupa pengaruh lebih lanjut hasil pendidikan berupa produk dan efek yang diperoleh peserta didik terhadap kondisi dan lingkungannya baik di dalam keluarga ataupun masyarakat secara keseluruhan.

Guru Di Garda Terdepan Pendidikan

Sesuai dengan judulnya, “guru” merupakan subyek yang menjadi fokus bahasan ini, karena siapapun sependapat bahwa guru merupakan unsur utama dalam keseluruhan proses pendidikan khususnya di tingkat insitusional dan instruksional. Tanpa guru, pendidikan hanya akan menjadi slogan muluk karena segala bentuk kebijakan dan program pada akhirnya akan ditentukan oleh kinerja pihak yang berada di garis terdepan yaitu guru. “No teacher no education, no education no economic and social development” demikian prinsip dasar yang diterapkan dalam pembangunan pendidikan di Vietnam berdasarkan amanat Bapak bangsanya yaitu Ho Chi Minh. Guru menjadi titik sentral dan awal dari semua pembangunan pendidikan. Di Indonesia guru masih belum mendapatkan posisi yang seharusnya dalam kebijakan dan program-program pendidikan. Saatnya kini membuat kebijakan dengan paradigma baru yaitu membangun pendidikan dengan memulainya dari subyek “guru”. Tanpa itu semua dikhawatirkan mutu pendidikan tidak sampai pada cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pengembangan sumber daya manusia.
Dalam kenyataan, guru belum memperoleh haknya untuk dapat mengajar secara profesional dan efektif, Hal itu tercermin dari kondisi saat ini yang mencakup jumlah yang kurang sehingga harus bekerja melebihi lingkup tugasnya, mutu yang belum sesuai dengan tuntutan, distribusi yang kurang merata, kesejahteraan yang amat tidak menunjang, dan manajemen yang tidak kondusif. Semua itu merupakan cerminan adanya pelanggaran hak azasi guru. Hak azasi guru proteksi dari pemerintah dan masyarakat melalui perundang-undangan yang mengatur pendidikan antara lain Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, dan Undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen harus segera diimplementasikan pada tatanan operasional dan manajerial mulai di tingkat nasional, regional, institusional, sampai tingkat instruksional.
Peran serta guru dalam kaitan dengan mutu pendidikan, sekurang-kurangnya dapat dilihat dari empat dimensi yaitu guru sebagai pribadi, guru sebagai unsur keluarga, guru sebagai unsur pendidikan, dan guru sebagai unsur masyarakat.

Guru sebagai pribadi

Kinerja peran guru dalam kaitan dengan mutu pendidikan harus dimulai dengan dirinya sendiri. Sebagai pribadi, guru merupakan perwujudan diri dengan seluruh keunikan karakteristik yang sesuai dengan posisinya sebagai pemangku profesi keguruan. Kepribadian merupakan landasan utama bagi perwujudan diri sebagai guru yang efektif baik dalam melaksanakan tugas profesionalnya di lingkungan pendidikan dan di lingkungan kehidupan lainnya. Hal ini mengandung makna bahwa seorang guru harus mampu mewujudkan pribadi yang efektif untuk dapat melaksanakan fungsi dan tanggung jawabnya sebagai guru. Untuk itu, ia harus mengenal dirinya sendiri dan mampu mengembangkannya ke arah terwujudnya pribadi yang sehat dan paripurna (fully functioning person).

Peran guru di keluarga

Dalam kaitan dengan keluarga, guru merupakan unsur keluarga sebagai pengelola (suami atau isteri), sebagai anak, dan sebagai pendidik dalam keluarga. Hal ini mengandung makna bahwa guru sebagai unsur keluarga berperan untuk membangun keluarga yang kokoh sehingga menjadi fundasi bagi kinerjanya dalam melaksanakan fungsi guru sebagai unsur pendidikan. Untuk mewujudkan kehidupan keluarga yang kokoh perlu ditopang antara lain oleh: landasan keagamaan yang kokoh, penyesuaian pernikahan yang sehat, suasana hubungan inter dan antar keluarga yang harmonis, kesejahteraan ekonomi yang memadai, dan pola-pola pendidikan keluarga yang efektif.

Peran guru di sekolah

Dalam keseluruhan kegiatan pendidikan di tingkat operasional, guru merupakan penentu keberhasilan pendidikan melalui kinerjanya pada tingkat institusional, instruksional, dan eksperiensial.. Sejalan dengan tugas utamanya sebagai pendidik di sekolah, guru melakukan tugas-tugas kinerja pendidikan dalam bimbingan, pengajaran, dan latihan. Semua kegiatan itu sangat terkait dengan upaya pengembangan para peserta didik melalui keteladanan, penciptaan lingkungan pendidikan yang kondusif, membimbing, mengajar, dan melatih peserta didik. Dengan perkembangan dan tuntutan yang berkembang dewasa ini, peran-peran guru mengalami perluasan yaitu sebagai: pelatih (coaches), konselor, manajer pembelajaran, partisipan, pemimpin, pembelajar, dan pengarang. Sebagai pelatih (coaches), guru memberikan peluang yang sebesar-besarnya bagi peserta didik untuk mengembangkan cara-cara pembelajarannya sendiri sebagai latihan untuk mencapai hasil pembelajaran optimal.. Sebagai konselor, guru menciptakan satu situasi interaksi di mana peserta didik melakukan perilaku pembelajaran dalam suasana psikologis yang kondusif dengan memperhatikan kondisi setiap peserta didik dan membantunya ke arah perkembangan optimal. Sebagai manajer pembelajaran, guru mengelola keseluruhan kegiatan pembelajaran dengan mendinamiskan seluruh sumber-sumber penunjang pembelajaran. Sebagai partisipan, guru tidak hanya berperilaku mengajar akan tetapi juga berperilaku belajar melalui interaksinya dengan peserta didik. Sebagai pemimpin, guru menjadi seseorang yang menggerakkan peserta didik dan orang lain untuk mewujudkan perilaku pembelajaran yang efektif.. Sebagai pembelajar, guru secara terus menerus belajar dalam rangka menyegarkan kompetensinya serta meningkatkan kualitas profesionalnya. Sebagai pengarang, guru secara kreatif dan inovatif menghasilkan berbagai karya yang akan digunakan untuk melaksanakan tugasnya.

Peran guru di masyarakat

Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara keseluruhan, guru merupakan unsur strategis sebagai anggota, agen, dan pendidik masyarakat. Sebagai anggota masyarakat guru berperan sebagai teladan bagi bagi masyarakat di sekitarnya baik kehidupan pribadinya maupun kehidupan keluarganya. Sebagai agen masyarakat, guru berperan sebagai mediator (penengah) antara masyarakat dengan dunia pendidikan khususnya di sekolah. Dalam kaitan ini, guru akan membawa dan mengembangkan berbagai upaya pendidikan di sekolah ke dalam kehidupan di masyarakat, dan juga membawa kehidupan di masyarakat ke sekolah. Selanjutnya sebagai pendidik masyarakat, bersama unsur masyarakat lainnya guru berperan mengembangkan berbagai upaya pendidikan yang dapat menunjang pencapaian hasil pendidikan yang bermutu.

MASALAH DAN KENDALA

Hingga saat ini masih banyak masalah dan kendala yang berkaitan dengan guru sebagai satu kenyataan yang harus diatasi dengan segera. Berbagai upaya pembaharuan pendidikan telah banyak dilakukan antara lain melalui perbaikan sarana, peraturan, kurikulum, dsb. tapi belum mempriotitaskan guru sebagai pelaksana di tingkat instruksional terutama dari aspek kesejahteraannya. Beberapa masalah dan kendala yang berkaitan dengan kondisi guru antara lain sebagai berikut.

1. Kuantitas, kualitas, dan distribusi.

Dari aspek kuantitas, jumlah guru yang ada masih dirasakan belum cukup untuk menghadapi pertambahan siswa serta tuntutan pembangunan sekarang. Kekurangan guru di berbagai jenis dan jenjang khususnya di sekolah dasar, merupakan masalah besar terutama di daerah pedesaan dan daerah terpencil. Dari aspek kualitas, sebagian besar guru-guru dewasa ini masih belum memiliki pendidikan minimal yang dituntut. Data di lampiran 1 menunjukkan bahwa dari 2.783.321 orang guru yang terdiri atas 1.528.472 orang guru PNS dan sisanya (1.254.849 orang) non-PNS, baru sekitar 40% yang sudah memiliki kualifikasi S-1/D-IV dan di atasnya. Sisanya masih di bawah D-3 atau lebih rendah. Dari aspek penyebarannya, masih terdapat ketidak seimbangan penyebaran guru antar sekolah dan antar daerah.. Dari aspek kesesuaiannya, di SLTP dan SM, masih terdapat ketidak sepadanan guru berdasarkan mata pelajaran yang harus diajarkan.

2. Kesejahteraan.

Dari segi keadilan kesejahteraan guru, masih ada beberapa kesenjangan yang dirasakan sebagai perlakuan diskriminatif para guru. Di antaranya adalah: (1) kesenjangan antara guru dengan PNS lainnya, serta dengan para birokratnya, (2) kesenjangan antara guru dengan dosen, (3) kesenjangan guru menurut jenjang dan jenis pendidikan, misalnya antara guru SD dengan guru SLTP dan Sekolah Menengah, (4) kesenjangan antara guru pegawai negeri yang digaji oleh negara, dengan guru swasta yang digaji oleh pihak swasta, (5) kesenjangan antara guru pegawai tetap dengan guru tidak tetap atau honorer, (6) kesenjangan antara guru yang bertugas di kota-kota dengan guru-guru yang berada di pedesaan atau daerah terpencil, (7) kesenjangan karena beban tugas, yaitu ada guru yang beban mengajarnya ringan tetapi di lain pihak ada yang beban tugasnya banyak (misalnya di sekolah yang kekurangan guru) akan tetapi imbalannya sama saja atau lebih sedikit. Kesejahteraan mencakup aspek imbal jasa, rasa aman, kondisi kerja, hubungan antar pribadi, dan pengembangan karir.

3. Manajemen guru

Dari sudut pandang manajemen SDM guru, guru masih berada dalam pengelolaan yang lebih bersifat birokratis-administratif yang kurang berlandaskan paradigma pendidikan (antara lain manajemen pemerintahan, kekuasaan, politik, dsb.). Dari aspek unsur dan prosesnya, masih dirasakan terdapat kekurang-terpaduan antara sistem pendidikan, rekrutmen, pengangkatan, penempatan, supervisi, dan pembinaan guru. Masih dirasakan belum terdapat keseimbangan dan kesinambungan antara kebutuhan dan pengadaan guru. Rerkrutmen dan pengangkatan guru masih selalu diliputi berbagai masalah dan kendala terutama dilihat dari aspek kebutuhan kuantitas, kualitas, dan distribusi. Pembinaan dan supervisi dalam jabatan guru belum mendukung terwujudnya pengembangan pribadi dan profesi guru secara proporsional. Mobilitas mutasi guru baik vertikal maupun horisontal masih terbentur pada berbagai peraturan yang terlalu birokratis dan “arogansi dan egoisme” sektoral. Pelaksanaan otonomi daerah yang “kebablasan” cenderung membuat manajemen guru menjadi makin semrawut.

4. Penghargaan terhadap guru

Seperti telah dikemukakan di atas, hingga saat ini guru belum memperoleh penghargaan yang memadai. Selama ini pemerintah telah berupaya memberikan penghargaan kepada guru dalam bentuk pemilihan guru teladan, lomba kreatiivitas guru, guru berprestasi, dsb. meskipun belum memberikan motivasi bagi para guru. Sebutan “pahlawan tanpa tanda jasa” lebih banyak dipersepsi sebagai pelecehan ketimbang penghargaan. Pemberian penghargaan terhadap guru harus bersifat adil, terbuka, non-diskriminatif, dan demokratis dengan melibatkan semua unsur yang terkait dengan pendidikan terutama para pengguna jasa guru itu sendiri, sementara pemerintah lebih banyak berperan sebagai fasilitator.

5. Pendidikan guru

Sistem pendidikan guru baik pra-jabatan maupun dalam jabatan masih belum memberikan jaminan dihasilkannya guru yang berkewenangan dan bermutu disamping belum terkait dengan sistem lainnya. Pola pendidikan guru hingga saat ini masih terlalu menekankan pada sisi akademik dan kurang memperhatikan pengembangan kepribadian disamping kurangnya keterkaitan dengan tuntutan perkembangan lingkungan. Pendidikan guru yang ada sekarang ini masih bertopang pada paradigma guru sebagai penyampai pengetahuan sehingga diasumsikan bahwa guru yang baik adalah yang menguasai pengetahuan dan cakap menyampaikannya. Hal ini mengabaikan azas guru sebagai fasilitator dalam pembelajaran dan sumber keteladanan dalam pengembangan kepribadian peserta didik. Pada hakekatnya pendidikan guru itu adalah pembentukan kepribadian disamping penguasaan materi ajar. Disamping itu pola-pola pendidikan guru yang ada dewasa ini masih terisolasi dengan sub-sistem manajemen lainnya seperti rekrutmen, penempatan, mutasi, promosi, penggajian, dan pembinaan profesi.
Sebagai akibat dari hal itu semua, guru-guru yang dihasilkan oleh LPTK tidak terkait dengan kondisi kebutuhan lapangan baik kuantitas, kualitas, maupun kesepadannya dengan kebutuhan nyata.

WARISAN LAMA KARAKTERISTIK LINGKUNGAN KERJA GURU

Sebagai unsur yang berada di garda terdepan pendidikan, begitu banyak sebutan sanjungan yang diberikan kepada guru seperti “Guru yang digugu dan ditiru”, “Guru pejabat mulia”, “pahlawan tanpa tanda jasa”, “guru sebagai jabatan profesional”, “guru sebagai sumber teladan”, “guru sebagai pengukir masa depan bangsa”, dsb. Tentunya ungkapan-ungkapan tersebut merupakan upaya untuk memotivasi para guru dalam melaksanakan tugasnya, meskipun dalam kenyataannya banyak yang mempersepsi ungkapan-ungkapan tersebut justru merupakan sanjungan yang tidak sesuai dengan realitas sehingga membuat guru tersandung. Guru dipandang memiliki prestise terhormat., akan tetapi sebagai profesi yang rendah dengan imbalan yang tidak memadai.
Dengan posisi yang sangat strategis di garda terdepan pendidikan, seharusnya guru mendapat perhatian yang sungguh-sungguh dalam hal pembinaan profesional dan dukungan kesejahteraan melalui manajemen pendidikan yang kondusif. Menurut Carl D. Glickman (1990) guru masih berada di lingkungan kerja yang disebut “The legacy of the One-Room Schoolhouse” atau “warisan satu-kamar bangunan sekolah”. Dikatakan bahwa guru melakukan tugas kerjanya berada dalam sebuah ruangan yang dibatasi empat dinding di kawasan bangunan sekolah. Aktivitas guru dari menit ke menit dari hari ke hari dan dari tahun ke tahun berada dalam batas tembok empat dinding menata seluruh kelas, memeriksa kehadiran murid, mengajar, menilai, dsb. Kondisi ini masih terus berlangsung dengan karakteristik sebagai berikut:

1. Terisolasi

Penataan struktur ruang kelas tempat guru bertugas membuat guru bekerja secara individual dan berada di lingkungan kerja yang terisolasi. Selama guru melakukan aktivitas instruksional, pihak lain tidak mengamatinya termasuk para supervisor (pengawas). Guru beraktivitas tanpa memperoleh umpan balik dari kinerjanya sehingga sulit bagi mereka untuk memperoleh informasi balikan. Guru lainpun tidak dapat mengamati kinerja guru tersebut sehingga sulit untuk terjadi proses berbagai pengalaman. Mungkin hal ini berbeda dengan mereka yang bekerja dalam suasana kerja yang terbuka seperti di pabrik, di lapangan, di rumah sakit, dsb. Mereka yang bekerja di lingkungan kerja seperti di rumah sakit, para petugas baik profesional (seperti dokter) maupun para-profesional (seperti asisten, perawat, dsb) dapat saling mengamati kinerja masing-masing. Petugas senior dapat membimbing yang senior terutama pemula, demikian juga tenaga paramedis. Situasi seperti ini dapat memberikan pengaruh konstruktif bagi perkembangan profesi, namun hal seperti itu tidak dijumpai dalam lingkungan kerja guru. Kepala sekolah, pengawas, atau pejabat pendidikan jarang yang melakukan pengawasan dan pembinaan yang bersifat mengembangkan. Mereka lebih banyak membahas hal-hal yang bersifat administratif.

2. Dilema psikologis

Kondisi penataan lingkungan kerja seperti dikemukakan di atas, membuat guru secara terus menerus tanpa putus senantiasa berhadapan dengan tantangan psikologis. Setiap hari guru melaksanakan tugasnya dengan perilaku mengajar seperti mengecek kehadiran siswa, memperhatikan siswa satu persatu, menyampaikan materi, mengajukan pertanyaan, menjawab pertanyaan siswa, menulis, membacakan, memeriksa pekerjaan, melakukan teguran, memberikan pujian, dsb. Kalau guru SD sebagai guru kelas hal itu dilakukan mulai dari pelajaran yang satu ke pelajaran berikutnya sampai akhir waktu. Kalau guru mata pelajaran seperti di SMP atau SMA rangkaian perilaku itu dilakukan dari satu kelas ke kelas lainnya hingga berakhir jam pelajaran. Cukup banyak jumlah siswa yang harus dihadapi setiap hari dengan berbagai ragam kepribadian mulai dari yang menyenangkan sampai ke yang menjengkelkan, mulai dari yang cerdas sampai yang lambat, dan begitu banyak macam pola tingkah laku siswa yang berasal dari berbagai latar belakang. Semua itu harus dihadapi dengan sebaik-baiknya. Sebagai manusia biasa sudah tentu guru akan berhadapan dengan situasi psikologis yang bersifat dilematis. Sebagai guru harus bertahan pada norma-norma etika psikologis, namun sebagai manusia biasa iapun memiliki kualitas kondisi psikologis tertentu. Kalau kurang memiliki daya tahan psikologis yang prima, maka dapat berkembang menjadi konflik, frustrasi bahkan mendapat gangguan psikis.
Dilema psikologis yang dihadapi guru tidak hanya berhadapan dengan siswa, namun dengan pihak orang tua, pihak kepala sekolah, dan birokrasi pendidikan. Orang tua memberikan tuntutan tertentu menurut kehendak dan perasaannya. Pihak kepala sekolah dan birokrasi lainnya lebih banyak menuntut hal-hal yang bersifat administratif. Belum lagi tantangan yang bersifat sosial, ekonomi, kultural, dan bahkan politik cukup memberikan tekanan psikologis. Guru dituntut berperilaku ideal normatif namun berbagai kendala ekonomis membuat mereka berada dalam situasi konflik. Kondisi keluarga seperti tuntutan kebutuhan hidup yang menyangkut sandang, pangan, dan papan, kebutuhan pendidikan, kesehatan, sosial, dsb. makin menambah panjangnya deretan daftar tantangan dilema psikologis bagi guru.

3. Rutinitas

Situasi lingkungan kerja sebagaimana dikemukakan di atas, membawa guru pada pola-pola rutin. Semua aktivitas guru seolah-oleh sudah dipolakan sedemikian rupa sehingga aktivitas guru terpasung dengan hal-hal yang rutin. Kurikulum dan silabus serta jadwal mengajar setiap hari, jadwal mingguan, bulanan, bahkan tahunan, semuanya sudah diatur secara administratif. Sedikit sekali guru berpeluang untuk dapat mengatur dirinya sendiri di luar ketentuan yang rutin. Bahkan di masa lalu hal-hal yang sebenarnya menjadi tugas otonomi guru sudah diatur dari atas seperti buku pelajaran, materi, metode mengajar, soal tes, persiapan mengajar, serta juklak dan juknis lainnya.
Kondisi rutinitas itu dapat menghambat perkembangan kreativitas dan profesi guru, disamping memberikan dampak psikologis seperti kebosanan, apatis, pasif, reaktif,. mekanis, dsb.

4. Kendala guru pemula

Situasi lingkungan kerja seperti telah disebutkan di atas akan banyak menimbulkan kendala bagi para guru pemula. Untuk memulai melaksanakan tugas dakam lingkungan yang baru guru pmula memerlukan orientasi unmtuk mengenal situasi baru dalam mempersiapkan diri untuk memulai melaksanakan tugas. Dalam kenyataan jarang sekali guru memperoleh bantuan untuk memulai tugasnya. Guru-guru yang sudah ada terlebih dahulu atau guru senior kurang banyak membantu. Dari pihak kedinasan dan birokrasi jarang ditemukan adanya program orientasi awal masa tugas bagi pemula. Program yang disebut pendidikan dan pelatihan prajabatan lebih banyak berkenaan dengan berbagai hal yang bersifat administratif kepegawaian.
Kondisi seperti itu agak berbeda dibandingkan dengan lingkungan kerja profesi lain seperti di bidang hukum, kesehatan, pemerintaha, bisnis, dsb. Dalam lingkungan tersebut para pemula telah disiapkan program yang secara bertahap membantu untuk secara bertahap dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Lingkungan kerja guru dengan kondisi seperti itu menjadi kendala untuk memulai tugasnya. Para pemula harus berupaya sendiri dalam melaksanakan tugas dan melakukan penyesuaian diri dalam berbagai aspek. Dampak psikologis yang mungkin timbul adalah rasa terasing yang kemudian berkembang menjada rasa kurang betah dan menurunnya motivasi kerja. Pada gilirannya keadaan seperti itu berpengaruh terhadap efektiivitas kerja guru secara keseluruhan.

5. Karir tak berjenjang

Banyak profesi bergengsi seperti di bidang hukum, kedokteran, sains, rekayasa, dsb. menetapkan secara jelas transisi dari sejak mahasiswa lulus ke jabatan profesional. Untuk dapat melaksanakan tugas profesionalnya dilakukan secara berjenjang melalui seleksi yang cukup ketat dengan kriteria yang jelas. Ketika memulai bertugas pada tahap awal dimulai dengan magang kepada yang lebih seniror dan terus secara berhjenjang sampai pada posisin tertinggi. Dalam jabatan guru hal itu tidak terjadi secara jelas dan terprogram. Begitu lulus dari Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan langsung terjun ke dunianya laksana anak itik yang langsung berenang. Dan seterusnya sejak mulai sampai akhir masa jabatan tidak pernah terjadi seleksi karir yang berjenjang. Dengan begitu guru pemula sama saja dengan guru yang sudah puluhan tahun bekerja, yang membedakannya hanyalah gaji yang diterima dan pangkat yang semakin tinggi.
Memang ada ketentuan penjenjangan jabatan guru mulai dari guru pratama sampai ke guru utama dengan kriteria perolehan angka kredit. Namun dalam pelaksanaannya lebih banyak berupa ketentuan administratif ketimbang penjenjangan profesional. Di Perguruan Tinggi para dosen cukup jelas ketentuan aturan penjenjangan dan pelaksanaannya. Misalnya seorang asisten ahli tidak diberi wewenang untuk mengajar secara mandiri dan membimbing skripsi.

6. Kurang dialog mengenai pengajaran.

Pada umumnya di sekolah para guru jarang melakukan dialog atau diskusi berkenaan dengan pengajaran baik antar sesama guru maupun dengan supervisornya seperti kepala sekolah atau pengawas. Kalaupun terjadi pertemuan antara pejabat Departemen, Dinas, pengawas atau Kepala Sekolah, pembicaraan lebih banyak bersifat top down dan sedikit menyinggung dialog mengenai pengajaran. Hal-hal yang dibahas lebih banyak bersifat informatif yang berkenaan dengan berbagai peraturan, ketentuan administratif, atau perintah, dsb. Kalau terjadi dialog sesama guru pada waktu istirahat atau waktu luang, lebih banyak obrolan santai membicarakan masalah-masalah pribadi, kesejahteraan, keluarga, lingkungan dsb.
Ada satu bentuk forum yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan dialog instruksional yaitu apa yang disebut Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). Sayangnya forum ini lebih banyak berbentuk kepanjangan kedinasan yang sekali lagi lebih banyak mengarah ke hal-hal administratif.

7. Kurang keterlibatan dalam pengambilan keputusan kurikulum sekolah dan pengajaran.

Jika guru kurang kesempatan berdialog dengan sesama guru, tidak saling melihat satu dengan lain dalam proses pengajaran, dan guru cukup berkinerja dalam kelas, maka tidak heran apabila guru kurang dilibatkan dalam pengambilan keputusan berkenaan dengan kurikulum dan pengajaran. Keadaan ini jelas sangat kurang menguntungkan guru sebagai unsur pendidikan yang berada di garda terdepan pendidikan.
Keputusan pendidikan termasuk kurikulum dan p[engajaran lebih banyak ditetapkan dari atas dalam bentuk petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang seolah-olah sebuah resep yang harus dilaksanakan. Kalau saja inovasi mengenai penerapan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) yang akan melibatkan guru dalam pelaksanaannya, maka ini satu langkah baik untuk memberikan peluang bagi guru untuk mewujudkan otonomi pedagogisnya. Masalahnya, apakah guru sudah siap, dan apakah ada pembinaan sistematis?

GURU YANG DIHARAPKAN: Profesional, Sejahtera, dan Terlindungi

Menghadapi berbagai tantangan dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan nasional, diperlukan guru berkualitas yang mampu mewujudkan kinerja profesional, modern, dalam nuansa pendidikan dengan dukungan kesejahteraan yang memadai dan berada dalam lindungan kepastian hukum. “Guru” adalah suatu sebutan bagi jabatan, posisi dan profesi bagi seseorang yang mengabdikan dirinya dalam bidang pendidikan memalui interaksi edukatif secara terpola, formal, dan sistematis. Saat ini telah lahir Undang-undang nomor 14 tahun 2006 tentang Guru dan Dosen sebagai satu landasan konstitusional yang sekaligus sebagai payung hukum yang memberikan jaminan bagi para guru dan dosen secara profesional, sejahtera, dan terlindungi. Undang-undang guru sangat diperlukan dengan tujuan: (1) mengangkat harkat citra dan martabat guru, (2) meningkatkan yanggung jawab profesi guru sebagai pengajar, pendidik, pelatih, pembimbing, dan manajer pembelajaran, (3) memberdayakan dan mendayagunakan profesi guru secara optimal, (4) memberikan jaminan kesejahteraan dan perlindungan terhadap profesi guru, (5) meningkatkan mutu pelayanan dan hasil pendidikan, (6) mendorong peranserta masyarakat dan kepedulian terhadap guru.
Dalam UU Guru dan Dosen (pasal 1 ayat 1) dinyatakan bahwa: ”Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini, jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah”. Guru profesional akan tercermin dalam penampilan pelaksanaan pengabdian tugas-tugas yang ditandai dengan keahlian baik dalam materi maupun metode, rasa tanggung jawab, pribadi, sosial, intelektual, moral dan spiritual, dan kesejawatan, yaitu rasa kebersamaan di antara sesama guru. pribadi. Sementara itu, perwujudan unjuk kerja profesional guru ditunjang dengan jiwa profesionalisme yaitu sikap mental yang senantiasa mendorong untuk mewujudkan diri sebagai guru profesional. Kualitas profesionalisme ditunjukkan oleh lima untuk kerja sebagai berikut: (1) Keinginan untuk selalu menampilkan perilaku yang mendekati standar ideal. (2) Meningkatkan dan memelihara citra profesi. (3) Keinginan untuk senantiasa mengejar kesempatan pengembangan profesional yang dapat meningkatkan dan memperbaiki kualitas pengetahuan dan ketrampilannya. (4) Mengejar kualitas dan cita-cita dalam profesi. (5) Memiliki kebanggaan terhadap profesinya.
Dalam UU Guru dan Dosen (pasal 7 ayat 1) prinsip profesional guru mencakup karakteristik sebagai berikut: (a) memiliki bakat, minat, panggilan dan idealisme, (b) memiliki kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas, (c) memiliki kompetrensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas, (d) memiliki ikatan kesejawatan dan kode etik profesi, (e) bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan, (f) memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja, (g) memiliki kesempatan untuk mengembangkan profesi secara berkelanjutan, (h) memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, dan (i) memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan keprofesian. Selanjutnya pasal 14 menyatakan bahwa guru mempunyai hak professional sebagai berikut: (a) memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan social; (b) mendapatkan poromosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja, (c) memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual, (d) memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi, (e) memperoleh dan memanfaatkan sarana dan prasaranban pembelajaran untuk menunjang kelancaran tugas keprofeionalam, (f) memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusaan, penghargaan dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan, (g) memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas, (h) memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi, (i) memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan, (j) memperoleh kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualifikasi akademik dan kompetensi, dan/atau, (k) memperoleh pelatihan dan pengembangan profesi dalam bidangnya.
Beberapa substansi UU Guru dan Dosen yang bernilai “pembaharuan” untuk mendukung profesionalitas dan kesejahteraan guru antara lain yang berkenaan dengan:
  1. Kualifikasi dan kompetensi guru: yang mensyaratkan kualifikasi akademik guru minimal lulusan S-1 atau Diploma IV, dengan kompetensi sebagai agen pembelajaran yang meliputi kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial.
  2. Hak guru: yang berupa penghasilan di atas kebutuhann hidup minimum berupa gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, tunjangan fungsionmal, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan yang terkait dengan tugasnya sebagai guru. (pasal 15 ayat 1)
  3. Kewajiban guru; untuk mengisi keadaan darurat adanya wajib kerja sebagai guru bagi PNS yang memenuhi persyaratan.
  4. Pengembangan profesi guru; melalui pendidikan guru yang lebih berorientasi pada pengembangan kepribadian dan profesi dalam satu lembaga pendidikan guru yang terpadu.
  5. Perlindungan; guru mendapat perlindungan hukum dalam berbagai tindakan yang merugikan profesi, kesejahteraan, dan keselamatan kerja.
  6. Organisasi profesi; sebagai wadah independen untuk peningkatan kompetensi karir, wawasan kependidikan, perlindungan profesi, kesejahtreraan dan atau pengabdian, menetapkan kode etik guru, memperjuangkan aspirasi dan hak-hak guru.

PELUANG DAN TANTANGAN

Sebagai satu bentuk reformasi dan inovasi, kelahirannya akan memberikan peluang sekaligus tantangan yang akan dihadapi oleh subyek-subyek terkait.

Pertama; bagi para guru

Sebagai peluang, guru akan memperoleh jaminan dalam mewujudkan otonomi pedagogis yang merupakan hak azasinya sebagai unsur utama pendidikan sehingga dapat berkinerja secara profesional dan lebih optimal dengan dukungan kualitas kesejahteraan dan perlindungan hukum yang memadai. Disamping itu guru berpeluang untuk memperoleh jaminan sebagai warga negara dengan segala hak dan kewajibannya dalam suasana lingkungan kerja yang kondusif dalam pengembangan karir baik profesi maupun pribadi. Semua peluang tersebut apabila dapat terwujud akan membuat para guru berkinerja secara profesional dengan dukungan kesejahteraan yang memadai dan dalam lingkungan kerja yang kondusif, serta jaminan kepastian karir yang lebih prospektif. Namun semua peluang itu tidak serta merta akan terwujud karena guru ditantang untuk mampu berkinerja sesuai dengan tuntutan undang-undang. Guru harus memenuhi standar profesi baik dalam bentuk kualifikasi maupun kompetensi sebagaimana telah ditetapkan dalam undang-undang dan harus senantiasa meningkatkan mutu profesionalnya melalui berbagai cara dan kesempatan. Guru ditantang untuk dapat melaksanakan semua tuntutan undang-undang berkenaan dengan kewajiban profesionalnya sesuai dengan kode etik profesi. Hak untuk memperoleh kesejahteraan dan jaminan hanya mungkin terwujud apabila yang bersangkutan mampu memenuhi kewajibannya sebagai tantangan dari tuntutan undang-undang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa peluang yang mungkin akan dicapai oleh para guru, harus diikuti dengan kemampuan menghadapi tantangan yang yang timbul dari implementasi undang-undang.

Kedua; bagi pemerintah.

Dengan berlakunya undang-undang guru, pemerintah mendapat tantangan untuk secara konsekuen mengimplementasikan berbagai amanat undang-undang dalam berbagai aspek dan dimensi pendidikan. Sesuai dengan amanat undang-undang, hal yang harus dilaksanakan antara lain: (1) Menata berbagai ketentuan hukum yang berkaitan dengan implementasi undang-undang, (2) Menyediakan dana dan sarana untuk menunjang implementasi undang-undang. (2) Mewujudkan satu sistem manajemen guru dan dosen dalam dalam satu sistem pengelolaan yang profesional dan proporsional. (3) Pembenahan Sistem Pendidikan dan pelatihan yang lebih fungsional untuk dan lebih berorientasi pada pembentukan dan pemberdayaan kepribadian dan profesi, (4) Pengembangan satu sistem remunerasi (gaji dan tunjangan lainnya) bagi guru dan secara adil, bernilai ekonomis, serta memiliki daya tarik sedemikian rupa sehingga merangsang para guru dan melakukan tugasnya dengan penuh dedikasi dan memberikan kepuasan lahir batin.

Ketiga; bagi organisasi profesi.

Organisasi profesi merupakan peluang untuk sebagai wadah perjuangan dalam mewujudkan semua amanat yang tersirat dan tersurat dalam undang-undang. PGRI yang hingga saat ini telah menjadi salah satu organisasi guru dengan usia paling lama dan memiliki potensi yang cukup mantap dalam struktur, kultur, substansi dan SDM-nya, harus mampu menjadi organisasi profesi sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang. Sebagai organisasi profesi, PGRI mempunyai fungsi sebagai wadah kebersamaan rasa kesejawatan para anggota dalam: (1) mewujudkan keberadaannya di lingkungan masyarakat, (2) memperjuangkan segala aspirasi dan kepentingannya suatu profesi, (3) menetapkan standar perilaku profesional, (4) melindungi seluruh anggota, (5) meningkatkan kualitas kesejahteraan, (6) mengembangkan kualitas pribadi dan profesi.

Keempat; bagi penyelenggara pendidikan

Sebagaimana kita maklumi, Undang-undang Sisdiknas dan Undang-undang Guru dan Dosen memberikan jaminan kesetaraan antara pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah (negeri) dan yang dioselenggarakan oleh masyarakat (swasta). Bagi penyelenggara pendidikan swasta kelahiran Undang-undang Guru dan Dosen merupakan peluang bagi peningkatan mutu pendidikan melalui peningkatan mutu dan kesejahteraan para pengajar (guru dan dosen). Namun hal itu merupakan tantangan tersendiri yang mungkin cukup berat dan rumit sehingga bukan hal yang mustahil dapat menimbulkan komplikasi. Kondisi swasta yang berbeda dengan negeri terutama dalam dana dan sarana menuntut pihak swasta harus bekerja keras untuk mengejar ketertinggalan dengan negeri. Sementara itu, kondisi swasta memiliki rentangan keragaman yang cukup besar antara satu dengan lainnya sehingga dalam mengimplementasikan Undang-undang Guru dan Dosen memerlukan adaptasi yang cukup rumit dan memerlukan tahapan waktu dalam kurun yang panjang. Untuk itu dibutuhkan kesiapan pihak swasta dan dukungan pemerintah dalam rangka mengembangkan kemitraan penyelenggaraan pendidikan.

Kelima; pihak terkait lainnya

Berbagai pihak terkait baik institusi maupun perorangan yang berada di lingkungan penyelenggara pendidikan, birokrasi, lembaga legislatif, organisasi, dan masyarakat pada umumnya, harus ikut berperan serta dalam implementasi undang-undang guru dan dosen. Dalam hubungan ini semua pihak terkait mendapat tantangan untuk dapat memberikan perlakuan secara tepat sebagai dukungan bagi guru dan dosen dalam mewujudkan dirinya sesuai dengan amanat undang-undang guru. Langkah mendasar yang harus dilakukan oleh pihak birokrasi adalah mereposisi guru dan dosen dalam pendidikan nasional dalam berbagai tatanan dan dimensi pendidikan sesuai dengan tuntutan undang-undang. Selanjutnya guru dan dosen harus diperlakukan sebagai subyek yang berada dalam tatanan manajerial yang berbasis pendidikan sebagai mitra dalam pengelolaan yang luwes. Dengan demikian. Guru dan dosen akan mewujud sebagai pribadi mandiri, matang, penuh percaya diri dan berwibawa untuk tampil sebagai insan professional yang terjamin dan prospektif. Semua itu pada gilirannya akan menunjang suksesnya kinerja pendidikan nasional sebagai infrastruktur pengembangan sumber daya manusia.

PENDIDIKAN GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN

Setiap aspek dunia pendidikan termasuk masalah kualitas guru saat ini menghadapi tantangan baik global, nasional, maupun lokal. Pada tatanan global seluruh umat manusia di dunia dihadapkan pada tantangan yang bersumber dari perkembangan global sebagai akibat pesatnya perkembangan ilmu perngetahuan dan teknologi. Robert B Tucker (2001) mengidentifikasi adanya sepuluh tantangan di abad 21 yaitu: (1) kecepatan (speed), (2) kenyamanan (convinience), (3) gelombang generasi (age wave), (4) pilihan (choice), (5) ragam gaya hidup (life style), (6) kompetisi harga (discounting), (7) pertambahan nilai (value added), (8) pelayananan pelanggan (costumer service), (9) teknologi sebagai andalan (techno age), (10) jaminan mutu (quality control. Menurut Robert B Tucker kesepuluh tantangan itu menuntut inovasi dikembangkannya paradigma baru dalam pendidikan seperti: accelerated learning, learning revolution, megabrain, quantum learning, value clarification, learning than teaching, transformation of knowledge, quantum quotation (IQ, EQ, SQ, dll.), process approach, Forfolio evaluation, school/community based management, school based quality improvement, life skills, competency based corriculum.
Pada tatanan nasional, dunia pendidikan ditantang dengan berbagai upaya pembaharuan dan pembangunan nasional yang lebih berorientasi pada pengembangan sumber daya manusia. Lahirnya Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional, Undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan berrbagai produk ketentuan hukum lainnya merupakan satu tantangan yang harus dihadapi oleh LPTK yang mempunyai tanggung jawab dalam menghasilkan guru yang berkualitas. Pada tatanan lokal dengan penerapan otonomi daerah, setiap daerah mempunyai peluang untuk menata pengembangan tenaga guru yang lebih berkualitas dan sesuai dengantuntutan kebutuhan daerah.
Berkaitan dengan masalah dan kendala guru sebagaimana dikemukakan di atas, cukup banyak kritikan tajam yang ditujukan kepada LPTK khususnya yang berkenaan dengan ketiak mampuan LPTK menghasilkan guruyang berkualitas. Menurut Linda Darling Hammond dan Joan Baratz Snouwden (2007) dalam tulisannya yang berjuudul: ”Good Teacher in Every Classroom: Preparing the High Qualified Teachers Our Children Deserve”., ada beberapa alasan mengapa hal itu terjadi, yaitu pertama; pemerintah dan masyarakat belum menunjukkan keseriusannya dalam menangani hak-hak anak terutama dari kelompok miskin, kedua, penyempitan makna konvensional yang menyatakan bahwa pengajaran semata-mata sebagai proses penyampaian materi sebagaimana digariskan dalam kurikulum; ketiga, banyak pihak yang tidak memahami hakekat mengajar yang sebenarnya, keempat, hampir semua meyakini bahwa yang penting adalah pengajaran dan bukan pembelajaran dari peserta didik, kelima masih longgarnya tuntutan persyaratan untuk menjadi guru yang berkualitas, keenam para peneliti dan pendidik guru barui sampai pada kesepakatan mengenai pengetahuan dasar yang diperlukan oleh guru untuk memasuki kelas. Pendidikan guru di masa lalu dan hingga sekarang sering dikritik terlalu sempit yang dibatasi dengan mempersiapkan pengetahuan yang akan diajarkan di kelas. Sementara kurang memperhatikan hal-hal yang terkait dengan pemahaman mengernai peserta didik, pengembangan profesi, pembentukan kepribadian, dan landasan pedagogis. Sebagai akibatnya ialah guru hanya mampu tampil sebagai penyampai pengetahuan dan tidak tampil sebagai guru profesional sebagaimana dituntut oleh Undang-undang Guru dan Dosen.
Sehubungan dengan kritikan dan tantangan tersebut maka LPTK harus mau dan mampu melakukan reformasi pola-pola pendidikan guru. Pola-pola lama harus dikembangkan sehingga mampu menghasilkan guru yang berkualitas sebagaimana yang diharapkan. Untuk itu perlu dilakukan berbagai penataan sistem secara utuh dengan menempatkan proses pengajaran dan pembelajaran sebagai inti dari siostem pendidikan guru. Wayne K. Hoy dan Cecil G. Miskel menyebutnya proses interaksi antara pengajaran dan pembelajaran sebagai ”technical core” dalam pendidikan guru. Mereka menyarankan agar pendidikan guru baik pra-jabatan maupun dalam jabatan dibangun dalam satu sistem yang utuh dengan memperhatikan aspek input, proses, dan output dan terjadi keterpaduan berbagai unsur sub-sistem secara utuh.

INFORMASI SERTIFIKASI GURU

GURU : DOWNLOAD

PENDIDIKAN DAN MASYARAKAT

  1. PERANAN GURU DALAM PENDIDIKAN
TUGAS GURU

Daoed Yoesoef (1980) menyatakan bahwa seorang guru mempunyai tiga tugas pokok yaitu tugas profesional, tugas manusiawi, dan tugas kemasyarakatan (sivic mission). Jika dikaitkan pembahasan tentang kebudayaan, maka tugas pertama berkaitan dengar logika dan estetika, tugas kedua dan ketiga berkaitan dengan etika.

Tugas-tugas profesional dari seorang guru yaitu meneruskan atau transmisi ilmu pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai lain yang sejenis yang belum diketahui anak dan seharusnya diketahui oleh anak.

Tugas manusiawi adalah tugas-tugas membantu anak didik agar dapat memenuhi tugas-tugas utama dan manusia kelak dengan sebaik-baiknya. Tugas-tugas manusiawi itu adalah transformasi diri, identifikasi diri sendiri dan pengertian tentang diri sendiri.

Usaha membantu kearah ini seharusnya diberikan dalam rangka pengertian bahwa manusia hidup dalam satu unit organik dalam keseluruhan integralitasnya seperti yang telah digambarkan di atas. Hal ini berarti bahwa tugas pertama dan kedua harus dilaksanakan secara menyeluruh dan terpadu. Guru seharusnya dengan melalui pendidikan mampu membantu anak didik untuk mengembangkan daya berpikir atau penalaran sedemikian rupa sehingga mampu untuk turut serta secara kreatif dalam proses transformasi kebudayaan ke arah keadaban demi perbaikan hidupnya sendiri dan kehidupan seluruh masyarakat di mana dia hidup.

Tugas kemasyarakatan merupakan konsekuensi guru sebagai warga negara yang baik, turut mengemban dan melaksanakan apa-apa yang telah digariskan oleh bangsa dan negara lewat UUD 1945 dan GBHN.

Ketiga tugas guru itu harus dilaksanakan secara bersama-sama dalam kesatuan organis harmonis dan dinamis. Seorang guru tidak hanya mengajar di dalam kelas saja tetapi seorang guru harus mampu menjadi katalisator, motivator dan dinamisator pembangunan tempat di mana ia bertempat tinggal.

Ketiga tugas ini jika dipandang dari segi anak didik maka guru harus memberikan nilai-nilai yang berisi pengetahuan masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang, pilihan nilai hidup dan praktek-praktek komunikasi. Pengetahuan yang kita berikan kepada anak didik harus mampu membuat anak didik itu pada akhimya mampu memilih nilai-nilai hidup yang semakin komplek dan harus mampu membuat anak didik berkomunikasi dengan sesamanya di dalam masyarakat, oleh karena anak didik ini tidak akan hidup mengasingkan diri. Kita mengetahui cara manusia berkomunikasi dengan orang lain tidak hanya melalui bahasa tetapi dapat juga melalui gerak, berupa tari-tarian, melalui suara (lagu, nyanyian), dapat melalui warna dan garis-garis (lukisan-lukisan), melalui bentuk berupa ukiran, atau melalui simbul-simbul dan tanda tanda yang biasanya disebut rumus-rumus.

Jadi nilai-nilai yang diteruskan oleh guru atau tenaga kependidikan dalam rangka melaksanakan tugasnya, tugas profesional, tugas manusiawi, dan tugas kemasyarakatan, apabila diutarakan sekaligus merupakan pengetahuan, pilihan hidup dan praktek komunikasi. Jadi walaupun pengutaraannya berbeda namanya, oleh karena dipandang dari sudut guru dan dan sudut siswa, namun yang diberikan itu adalah nilai yang sama, maka pendidikan tenaga kependidikan pada umumnya dan guru pada khususnya sebagai pembinaan prajabatan, bertitik berat sekaligus dan sama beratnya pada tiga hal, yaitu melatih mahasiswa, calon guru atau calon tenaga kependidikan untuk mampu menjadi guru atau tenaga kependidikan yang baik, khususnya dalam hal ini untuk mampu bagi yang bersangkutan untuk melaksanakan tugas profesional. 

Selanjutnya, pembinaan prajabatan melalui pendidikan guru ini harus mampu mendidik mahasiswa calon guru atau calon tenaga kependidikan untuk menjadi manusia, person (pribadi) dan tidak hanya menjadi teachers (pengajar) atau (pendidik) educator, dan orang ini kita didik untuk menjadi manusia dalam artian menjadi makhluk yang berbudaya. Sebab kebudayaanlah yang membedakan makhluk manusia dengan makhluk hewan. Kita tidak dapat mengatakan bahwa hewan berbudaya, tetapi kita dapat mengatakan bahwa makhluk manusia adalah berbudaya, artinya di sini jelas kalau yang pertama yaitu training menyiapkan orang itu menjadi guru, membuatnya menjadi terpelajar, aspek yang kedua mendidiknya menjadi manusia yang berbudaya, sebab sesudah terpelajar tidak dengan sendininya orang menjadi berbudaya, sebab seorang yang dididik dengan baik tidak dengan sendininya menjadi manusia yang berbudaya. 

Memang lebih mudah membuat manusia itu berbudaya kalau ia terdidik atau terpelajar, akan tetapi orang yang terdidik dan terpelajar tidak dengan sendirinya berbudaya. Maka mengingat pendidikan ini sebagai pembinaan pra jabatan yaitu di satu pihak mempersiapkan mereka untuk menjadi guru dan di lain pihak membuat mereka menjadi manusia dalam artian manusia berbudaya, kiranya perlu dikemukakan mengapa guru itu harus menjadi rnanusia berbudaya. Oleh kanena pendidikan merupakan bagian dari kebudayaan; jadi pendidikan dapat berfungsi melaksanakan hakikat sebagai bagian dari kebudayaan kalau yang melaksanakannya juga berbudaya. Untuk menyiapkan guru yang juga manusia berbudaya ini tergantung 3 elemen pokok yaitu :
  1. Orang yang disiapkan menjadi guru ini melalui prajabatan (initial training) harus mampu menguasai satu atau beberapa disiplin ilmu yang akan diajarkannya di sekolah melalui jalur pendidikan, paling tidak pendidikan formal. Tidak mungkin seseorang dapat dianggap sebagai guru atau tenaga kependidikan yang baik di satu bidang pengetahuan kalau dia tidak menguasai pengetahuan itu dengan baik. Ini bukan berarti bahwa seseorang yang menguasai ilmu pengetahuan dengan baik dapat menjadi guru yang baik, oleh karena biar bagaimanapun mengajar adalah seni. Tetapi sebaliknya biar bagaimanapun mahirnya orang menguasai seni mengajar (art of teaching), selama ia tidak punya sesuatu yang akan diajarkannya tentu ia tidak akan pantas dianggap menjadi guru.
     
  2. Guru tidak hanya harus menguasai satu atau beberapa disiplin keilmuan yang harus dapat diajarkannya, ia harus juga mendapat pendidikan kebudayaan yang mendasar untuk aspek manusiawinya. Jadi di samping membiasakan mereka untuk mampu menguasai pengetahuan yang dalam, juga membantu mereka untuk dapat menguasai satu dasar kebudayaan yang kuat. Jadi bagi guru-guru juga perlu diberikan dasar pendidikan umum.
     
  3. Pendidikan terhadap guru atau tenaga kependidikan dalam dirinya seharusnya merupakan satu pengantar intelektual dan praktis kearah karir pendidikan yang dalam dirinya (secara ideal kita harus mampu melaksanakannya) meliputi pemagangan. Mengapa perlu pemagangan, karena mengajar seperti juga pekerjaan dokter adalah seni. Sehingga ada istilah yang populer di dalam masyarakat tentang dokter yang bertangan dingin dan dokter yang bertangan panas, padahal ilmu yang diberikan sama. Oleh karena mengajar dan pekerjaan dokter merupakan art (kiat), maka diperlukan pemagangan. Karena art tidak dapat diajarkan adalah teknik mengajar, teknik untuk kedokteran. Segala sesuatu yang kita anggap kiat, begitu dapat diajarkan diakalau menjadi teknik. Akan tetapi kalau kiat ini tidak dapat diajarkan bukan berarti tidak dapat dipelajari. Untuk ini orang harus aktif mempelajarinya dan mempelajari kiat ini harus melalui pemagangan dengan jalan memperhatikan orang itu berhasil dan mengapa orang lain tidak berhasil, mengapa yang satu lebih berhasil, mengapa yang lain kurang berhasil.
PERAN GURU

WF Connell (1972) membedakan tujuh peran seorang guru yaitu (1) pendidik (nurturer), (2) model, (3) pengajar dan pembimbing, (4) pelajar (learner), (5) komunikator terhadap masyarakat setempat, (6) pekerja administrasi, serta (7) kesetiaan terhadap lembaga.

Peran guru sebagai pendidik (nurturer) merupakan peran-peran yang berkaitan dengan tugas-tugas memberi bantuan dan dorongan (supporter), tugas-tugas pengawasan dan pembinaan (supervisor) serta tugas-tugas yang berkaitan dengan mendisiplinkan anak agar anak itu menjadi patuh terhadap aturan-aturan sekolah dan norma hidup dalam keluarga dan masyarakat. Tugas-tugas ini berkaitan dengan meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan anak untuk memperoleh pengalaman-pengalaman lebih lanjut seperti penggunaan kesehatan jasmani, bebas dari orang tua, dan orang dewasa yang lain, moralitas tanggungjawab kemasyarakatan, pengetahuan dan keterampilan dasar, persiapan.untuk perkawinan dan hidup berkeluarga, pemilihan jabatan, dan hal-hal yang bersifat personal dan spiritual. Oleh karena itu tugas guru dapat disebut pendidik dan pemeliharaan anak. Guru sebagai penanggung jawab pendisiplinan anak harus mengontrol setiap aktivitas anak-anak agar tingkat laku anak tidak menyimpang dengan norma-norma yang ada.

Peran guru sebagai model atau contoh bagi anak. Setiap anak mengharapkan guru mereka dapat menjadi contoh atau model baginya. Oleh karena itu tingkah laku pendidik baik guru, orang tua atau tokoh-tokoh masyarakat harus sesuai dengan norma-norma yang dianut oleh masyarakat, bangsa dan negara. Karena nilai nilai dasar negara dan bangsa Indonesia adalah Pancasila, maka tingkah laku pendidik harus selalu diresapi oleh nilai-nilai Pancasila.

Peranan guru sebagai pengajar dan pembimbing dalam pengalaman belajar. Setiap guru harus memberikan pengetahuan, keterampilan dan pengalaman lain di luar fungsi sekolah seperti persiapan perkawinan dan kehidupan keluarga, hasil belajar yang berupa tingkah laku pribadi dan spiritual dan memilih pekerjaan di masyarakat, hasil belajar yang berkaitan dengan tanggurfg jawab sosial tingkah laku sosial anak. Kurikulum harus berisi hal-hal tersebut di atas sehingga anak memiliki pribadi yang sesuai dengan nilai-nilai hidup yang dianut oleh bangsa dan negaranya, mempunyai pengetahuan dan keterampilan dasar untuk hidup dalam masyarakat dan pengetahuan untuk mengembangkan kemampuannya lebih lanjut.
 
Peran guru sebagai pelajar (leamer). Seorang guru dituntut untuk selalu menambah pengetahuan dan keterampilan agar supaya pengetahuan dan keterampilan yang dirnilikinya tidak ketinggalan jaman. Pengetahuan dan keterampilan yang dikuasai tidak hanya terbatas pada pengetahuan yang berkaitan dengan pengembangan tugas profesional, tetapi juga tugas kemasyarakatan maupun tugas kemanusiaan.

Peran guru sebagai setiawan dalam lembaga pendidikan. Seorang guru diharapkan dapat membantu kawannya yang memerlukan bantuan dalam mengembangkan kemampuannya. Bantuan dapat secara langsung melalui pertemuan-pertemuan resmi maupun pertemuan insidental.

Peranan guru sebagai komunikator pembangunan masyarakat. Seorang guru diharapkan dapat berperan aktif dalam pembangunan di segala bidang yang sedang dilakukan. Ia dapat mengembangkan kemampuannya pada bidang-bidang dikuasainya.

Guru sebagai administrator. Seorang guru tidak hanya sebagai pendidik dan pengajar, tetapi juga sebagai administrator pada bidang pendidikan dan pengajaran. Oleh karena itu seorang guru dituntut bekerja secara administrasi teratur. Segala pelaksanaan dalam kaitannya proses belajar mengajar perlu diadministrasikan secara baik. Sebab administrasi yang dikerjakan seperti membuat rencana mengajar, mencatat hasil belajar dan sebagainya merupakan dokumen yang berharga bahwa ia telah melaksanakan tugasnya dengan baik.
 

pengumuman kelulusan

smp :DOWNLOAD